Sa’id bin Amir merupakan Walikota Homs ( Syiria) yang dikenal adil, jujur dan bijaksana. Umar bin al-Khattab sebagai khalifah yang dulu mengangkat dia, tidak begitu saja percaya mendengar berita bekaikan anak buahnya. Khalifah masih perlu mencari informasi lain tentang keadaan Walikota itu. Memang benar, Umar sama sekali tidak mendapat informasi miring perihal Sa’id bin Amir.
Pada suatu kesempatan, Umar melakukan kunjungan kekota Homs. Dalam forum terbuka, Umar menanyakan kinerja Walikotanya dalam melayani masyarakat di kota itu. Seseorang maju kedepan menyampaikan ketidak-puasan (tentang) walikotanya dalam empat hal :
Ia baru keluar menemui masyarakat setelah matahari terbit agak tinggi.
Ia tidak menyediakan pelayanan masyarakat dimalam hari.
Pada setiap bulan, ada dua hari dimana ia tidak keluar menemui masyarakat.
Ia sewaktu-waktu suka jatuh pingsan.
Mendengar pengaduan itu, Umar tertunduk sebentar, lalu mempersilakan Sa’id untuk menanggapi ketidak puasan masyarakat tadi. Sa’id dengan sedikit linangan airmata berupaya menjelaskan satu persatu.
Mengnai tuduhan mereka bahwa saya tidak keluar rumah sebelum hari sedikit siang, memang karena keluarga kami tidak punya pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membuat roti, kemudian setelah itu berwudu untuk shalat dhuha. Setelah itu barulah saya keluar melayani masyarakat.
Adapun tuduhan bahwa saya tidak mau melayani masyarakat dimalam hari, demi Allah sebenarnya saya tidak mau menyebutnya. Saya telah menyediakan waktu siang sepenuhnya buat mereka seluruh rakyat, dan malam hari bagi Allah swt.
Sedangkan perihal dua hari dalam sebulan tidak keluar rumah, itu karena saya tidak mempunyai pelayan untuk mencuci pakaian, sedangkan pakaian saya juga terbatas. Jadi terpaksa saya mencucinya dan menunggu sampai kering, hingga baru bisa keluar diwaktu petang.
Kemudian tentang sering pingsan, saya ketika dulu di Mekah pernah menyaksikan Khubaib al-Anshari disiksa oleh kafir Quraisy, dibawa disebuah tandu sambil kulitnya disayat-sayat dengan pisau, lalu kafir Quraisy bertanya kepada Khubaib :” Maukah tempat ini digantikan oleh Muhammad, dan kamu bebas dalam keadaan sehat afiat? Khubaib menjawab :” Demi Allah, saya tidak sudi berada dalam kesenangan dan kebahagiaan dunia, sementara Rasulullah ditimpa bencana, walau hanya tusukan duri sekalipun”. Maka setiap kali terkenang peristiwa itu, dimana saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan tidak memberikan pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya gemetar karena takut siksa Allah, sehingga saya pingsan.
Sampai disana berakhirlah kata-kata Sa’id. Ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang shalih.
Mendengar itu, Umar tak dapat menahan rasa harunya, seraya mengucapkan hamdalah, dirangkul dan dipeluknya Sa’id dengan penuh kebanggaan…(sumber : Suara Masjid Raya Bandung)
Bandung, 26 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar