Saya tertarik dengan sebuah tulisan berjudul Menyikapi Marah. Tulisan itu dimuat dalam buku “ KH. Abdullah Gymnastiar Menjemput Rezeki dengan Berkah”, Buku ini merupakan kumpulan tulisan tausyiah di Republika. Ditulis pada 14-03-2003. Sudah lama memang. Tetapi menurut saya, tulisan ini masih tetap perlu kita pahami. Sebab, sampai hari ini dunia belum steril dari marah. Mungkin juga diri kita belum dapat menyikapi marah sesuai dengan tutunan ajaran Islam.
‘Dan bersegeralah menuju ampunan Allah yang memiliki surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang suka menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menykai orang-orang yang berbuat kebajikan ‘. ( QS. Ali Imran 134).
Dari Abu Hurairah, bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, “ Berilah nasehat kepadaku”. Rasulullah bersabda : “ Jangan kamu marah”. Lalu Rasulullah saw mengulanginya. “Jangan kamu marah”. Demikian pula dalam hadis lain disebutkan “ Tidaklah seseorang dikatakan pemberani karena cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah orang yang dapat menguasai diri dan nafsunya ketika marah”.
Sekuat apapun ibadah seseorang, jikalau dia pemarah, maka tetap akan rusak imannya. Kerugian pemarah diantaranya adalah dalam pergaulan ia tak disukai, karena pemarah itu wajahnya tampak tak menyenangkan. Kata-katanya pun kotor dan keji. Bahkan sampai-sampai iapun seringkali tak sadar apa yang dikatakannya.
Kalau seorang pemarah menjadi pemimpin, maka ia tidak akan sukses sebab ia akan diikuti bukan karena kemuliaannya, tapi karena ditakuti. Keputusannya cenderung tak adil karena seringkali emosional. Bila berbeda pendapat, selalu ingin memuntahkan ketidak-sukaannya. Singkatnya, pemimpin yang pemarah sebenarnya sedang menunggu waktu untuk jatuh.
Seorang ibu yang pemarah, akan menularkan budaya buruk terhadap anak-anaknya. Keturunannya akan memiliki dua kemungkinan. Pertama, menjadi pendiam dan beku karena stress. Kedua,menjadi kasar dan suka berontak.
Kalau banyak guru yang pemarah, maka tak usah heran bila murid-muridnya sering tawuran. Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah para gurunya kurang mampu memberikan teladan dengan menyejukkan hati para murid.
Pendek kata, para pemarah itu akan membawa bala dan ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Lalu bagaimana Rasulullah yang mulia menyikapi marah ? Bila masalah pribadi yang dihina, maka beliau selalu memaafkan. Tetapi bila masalah agama dihina , maka beliau akan marah dan selalu siap membela. Beliau sempat marah ketika perang Hunain berakhir karena kaum Anshar merasa kecewa dan menganggap Rasul tidak adil. Penyebabnya adalah pembagian ghanimah yang sebagian besar diberikan kepada kaum Muhajirin, orang yang baru masuk Islam di Mekkah, dan bukan kepada kaum Anshar.
Rasulullah kala itu memerah mukanya sampai-sampai berkata, “ Jikalau Allah dan Rasul-Nya dianggap tak adil, maka siapa lagi yang adil. Padahal mereka pulang dengan hanya membawa harta, sedangkan kalian pulang dengan membawa Rasulullah.” Singkat tetapi mempunyai makna mendalam dan tak menyakiti siapapun, bahkan membangkitkan kesadaran . Rasul marah dengan alasan dan cara yang benar; juga pada saat yang tepat, hingga hasilnya bermanfaat.
Allah memang menciptakan manusia dengan ‘ soft ware’ gembira dan cinta, juga perasaan sedih dan marah. Dengan marah, kita bisa membela keluarga , agama atau orang-orang yang lemah. Misalnya dalam perang melawan yang batil-emosi termasuk salah satu bagian penting. Jika tidak, justeru berbahaya karena tak bisa membela atau membangkitkan semangat.
Pemarah itu ada empat jenis. Pertama, orang yang cepat marahnya, tapi lambat redanya. Kedua, orang yang lambat marahnya dan lambat pula redanya. Ketiga, orang yang cepat marahnya, cepat pula redanya. Keempat, orang yang lambat marahnya, tetapi cepat redanya. Tentunya kita berupaya untuk memilih yang terakhir.
Maka dari itu, tahanlah sekuat-kuatnya jikalau kita akan marah. Perbanyak istighfar, ta’awudz, atau segera berwudhu. Jangan biarkan kita berada ditempat yang memancing kemarahan. Kalau sudah terlanjur marah, sebaiknya bertobat. Kalaupun harus marah, niatnya adalah bagaimana agar orang yang bersalah bisa berubah menjadi baik tanpa terlukai, tanpa kita berbuat zalim.
Kemudian janganlah sekali-kali menyikapi orang yang sedang marah dengan kemarahan lagi. Maklumi dan pahamilah terlebih dhulu. Memahami bukan berarti melazimkan atau melayakkan sifat pemarah, tetapi untuk meminimalisasi peluang untuk saling merusak.
(Ciumbuleuit Bandung, 19 Januari 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar