Seorang yang ikhlas senantiasa
merasa khawatir dirinya populer dikalangan masyarakat. Ia senantiasa berusaha
agar reputasi yang menyangkut diri dan agamanya tidak tersebar luas, apalagi
jika ia termasuk manusia yang disegani dan terpandang. Ia menyadari bahwa perbuatan yang dinilai Allah adalah perbuatan yang
didasarkan pada apa yang ada didalam hati, bukan semata-mata berdasarkan apa
yang tampak. Ia pun meyakini bahwa meskipun reputasi seseorang terdengar diseluruh dunia, orang
lain tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya dari siksa dan murka Allah SWT.
Oleh karena itu, bersikap zuhud
terhadap kedudukan, jabatan dan popularitas lebih berat daripada bersikap zuhud terhadap harta, makanan dan
kebutuhan seks. Imam Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “ Sedikit sekali kami
melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa saja
menahan diri dari makanan, minuman dan harta, namun ia tidak sanggup menahan
diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan ia tidak segan-segan merebutnya
meskipun harus menjegal kawan atau lawan.”
Sehubungan dengan itu, banyak
ulama salaf dan orang-orang saleh terdahulu merasa cemas terjangkit penyakit
gila popularitas, gila jabatan dan gila keududukan. Mereka selalu berpesan
kepada murid-muridnya agar menjauhkan diri dari hal itu karena sangat
berbahaya. Tidak mengherankan jika banyak ulama yang mengarang buku yang
berkaitan dengan larangan mencintai popularitas, jabatan, riya dan sebagainya,
seperti buku Al-Risalah karya Abul Qasim al-Qusyairi, Quut al- Quluub karya Abu
Thalib al-Makki dan Al-Ihya karya al-Ghazali.
Berikut ini kami kutipkan
pendapat para ulama mengenai hal tersebut. Misalnya Ibrahim bin Adham, seorang
yang terkenal zuhud, berkata,” Tidaklah beriman kepada Allah orang yang hatinya
terjangkit penyakit ingin memperoleh popularitas.”
Selanjudnya ia berkata.” Selama
hidup didunia, saya belum pernah merasakan kesejukan hati, kecuali sekali.
Yaitu, ketika pada suatu malam saya tidur disebuah masjid di perkampungan Syam,
sementara perut saya terasa sakit. Tiba-tiba datanglah tukang adzan menyeret
kaki saya dan mengusir saya dari masjid.”
Mengapa Ibrahim bin Adham
merasakan kesejukan hati, padahal ia diseret keluar dari masjid pada saat adzan
hendak dikumandangkan? Ibrahim merasakan kenikmatan itu karena tukang adzan itu
tidak mengenalinya sehingga memperlakukannya dengan kasar. Tukang adzan
menganggap Ibrahim melakukan dosa karena ia tidak beranjak dari tidurnya pasa
saat adzan akan dikumandangkan lalu mengusirnya dari masjid. Padahal, Ibrahim
adalah seorang yang terpandang.
Sulaim bin Handhalah
menceritakan, “ Pada suatu ketika, kami mendampingi Ubay bin Ka’ab yang
bepergian. Kami berjalan dibelakangnya. Tiba-tiba kami bertemu dengan Umar yang
sedang membawa mutiara. Ubay bertanya, “
Wahai Amirul Mukminin! Apakah yang sedang engkau lakukan? Umar menjawab, “
Sesungguhnya mutiara ini merupakan kehinaan bagi rakyat dan bencana bagi
pemimpin.” Kata-kata ini merupakan ucapan Umar secara pribadi setelah ia
menyaksikan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemewahan rakyat dan
para pemimpin.
Diceritakan oleh al-Hasan bahwa
pada suatu ketika, Ibnu Mas’ud keluar dari rumah. Beberapa sat kemudian, ia
diikuti oleh orang banyak. Ia menengok lalu bertanya, “ Mengapa kalian semua
mengikuti aku? Demi Allah, sekiranya kalian mengetahui aku menutup pintu
rumahku, niscaya tidak mungkin ada dua orang diantara kalian mau menyertaiki.”
Pada suatu hari, al-Hasan
bepergian. Ia diikuti oleh banyak orang. Ia bertanya, “ Apakah kalian
mengarakku ini lantaran ada keperluan? Sekiranya kalian tidak punya keperluan,
mengapa kalian berusaha membangkitkan popularitas didalam hati seorang mukmin?
Pada suatu ketika, Ayyup
as-Sakhtiyani hendak bepergian. Ia diantar oleh orang banyak. Melihat kerumunan
orang, ia berkata, “ Sesungguhnya saya tidak menyukai perbuatan yang demikian
ini. Saya takut akan memperoleh murka dari Allah ‘Azza wa Jalla.”
Ibnu Mas’ud berkata,” Jadilah
kalian sumber ilmu pengetahuan, pelita bagi petunjuk, alas rumah tangga, lampu
yang menerangi kegelapan malam dan pembangkit semangat baru bagi hati dan
pakaian yang usang. Dengan demikian, niscaya kalian akan dikenal oleh para
penghuni langit dan kalian tidak akan dikenal oleh para penghuni bumi.”
Fadlil bin Iyadh berkata,” Jika
anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah! Anda tidak
merugi sekiranya anda tidak disanjung orang lain. Demikian pula, janganlah gusar jika anda
menjadi orang yang tercela dimata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan
terhorkat disisi Allah.”
Kita tidak boleh memahami
ucapan-ucapan ulama diatas sebagai seruan untuk mengasingkan diri dari khalayak
ramai. Kita harus memahami semua ucapan ulama diatas sebagai peringatan dan
renungan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Dengan demikian, kita akan selalu
sadar bahwa didalam diri kita terpendam keinginan hawa nafsu. Kita harus selalu
waspada terhadap setiap cela dan lubang didalam hati manusia yang selalu
disusupi oleh setan.
Pada hakikatnya, popularitas itu
tidak tercela oleh Islam. Para Nabi sendiri, para Khulafaur-Rasyidin dan para
imam mujtahid adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang ialah meminta nama
kita dipopularkan, meminta jabatan, dan bersikap rakus terhadap kedudukan.
Adapun jika semua itu kita dapatkan tanpa meminta atau kita tidak berambisi
meraihnya, maka hal itu tidak mengapa. Sekalipun hal seperti itu-menurut Imam
al-Ghazali- menimbulkan mala petaka bagi orang yang lemah, bukan orang yang
kuat.
( Sumber: Ikhlas Sumber Kekuatan Islam, DR. Yusuf
Qardhawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar