Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Selasa, November 22, 2011

Takut Akan Popularitas (Tanda-Tanda Keihklasan 1)

Seorang yang ikhlas senantiasa merasa khawatir dirinya populer dikalangan masyarakat. Ia senantiasa berusaha agar reputasi yang menyangkut diri dan agamanya tidak tersebar luas, apalagi jika ia termasuk manusia yang disegani dan terpandang.  Ia menyadari bahwa perbuatan  yang dinilai Allah adalah perbuatan yang didasarkan pada apa yang ada didalam hati, bukan semata-mata berdasarkan apa yang tampak. Ia pun meyakini bahwa meskipun reputasi  seseorang terdengar diseluruh dunia, orang lain tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya dari siksa dan murka Allah SWT.
Oleh karena itu, bersikap zuhud terhadap kedudukan, jabatan dan popularitas lebih berat daripada  bersikap zuhud terhadap harta, makanan dan kebutuhan seks. Imam Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “ Sedikit sekali kami melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa saja menahan diri dari makanan, minuman dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.”
Sehubungan dengan itu, banyak ulama salaf dan orang-orang saleh terdahulu merasa cemas terjangkit penyakit gila popularitas, gila jabatan dan gila keududukan. Mereka selalu berpesan kepada murid-muridnya agar menjauhkan diri dari hal itu karena sangat berbahaya. Tidak mengherankan jika banyak ulama yang mengarang buku yang berkaitan dengan larangan mencintai popularitas, jabatan, riya dan sebagainya, seperti buku Al-Risalah karya Abul Qasim al-Qusyairi, Quut al- Quluub karya Abu Thalib al-Makki dan Al-Ihya karya al-Ghazali.
Berikut ini kami kutipkan pendapat para ulama mengenai hal tersebut. Misalnya Ibrahim bin Adham, seorang yang terkenal zuhud, berkata,” Tidaklah beriman kepada Allah orang yang hatinya terjangkit penyakit ingin memperoleh popularitas.”
Selanjudnya ia berkata.” Selama hidup didunia, saya belum pernah merasakan kesejukan hati, kecuali sekali. Yaitu, ketika pada suatu malam saya tidur disebuah masjid di perkampungan Syam, sementara perut saya terasa sakit. Tiba-tiba datanglah tukang adzan menyeret kaki saya dan mengusir saya dari masjid.”
Mengapa Ibrahim bin Adham merasakan kesejukan hati, padahal ia diseret keluar dari masjid pada saat adzan hendak dikumandangkan? Ibrahim merasakan kenikmatan itu karena tukang adzan itu tidak mengenalinya sehingga memperlakukannya dengan kasar. Tukang adzan menganggap Ibrahim melakukan dosa karena ia tidak beranjak dari tidurnya pasa saat adzan akan dikumandangkan lalu mengusirnya dari masjid. Padahal, Ibrahim adalah seorang yang terpandang.
Sulaim bin Handhalah menceritakan, “ Pada suatu ketika, kami mendampingi Ubay bin Ka’ab yang bepergian. Kami berjalan dibelakangnya. Tiba-tiba kami bertemu dengan Umar yang sedang  membawa mutiara. Ubay bertanya, “ Wahai Amirul Mukminin! Apakah yang sedang engkau lakukan? Umar menjawab, “ Sesungguhnya mutiara ini merupakan kehinaan bagi rakyat dan bencana bagi pemimpin.” Kata-kata ini merupakan ucapan Umar secara pribadi setelah ia menyaksikan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemewahan rakyat dan para pemimpin.
Diceritakan oleh al-Hasan bahwa pada suatu ketika, Ibnu Mas’ud keluar dari rumah. Beberapa sat kemudian, ia diikuti oleh orang banyak. Ia menengok lalu bertanya, “ Mengapa kalian semua mengikuti aku? Demi Allah, sekiranya kalian mengetahui aku menutup pintu rumahku, niscaya tidak mungkin ada dua orang diantara kalian mau menyertaiki.”
Pada suatu hari, al-Hasan bepergian. Ia diikuti oleh banyak orang. Ia bertanya, “ Apakah kalian mengarakku ini lantaran ada keperluan? Sekiranya kalian tidak punya keperluan, mengapa kalian berusaha membangkitkan popularitas didalam hati seorang mukmin?
Pada suatu ketika, Ayyup as-Sakhtiyani hendak bepergian. Ia diantar oleh orang banyak. Melihat kerumunan orang, ia berkata, “ Sesungguhnya saya tidak menyukai perbuatan yang demikian ini. Saya takut akan memperoleh murka dari Allah ‘Azza wa Jalla.”
Ibnu Mas’ud berkata,” Jadilah kalian sumber ilmu pengetahuan, pelita bagi petunjuk, alas rumah tangga, lampu yang menerangi kegelapan malam dan pembangkit semangat baru bagi hati dan pakaian yang usang. Dengan demikian, niscaya kalian akan dikenal oleh para penghuni langit dan kalian tidak akan dikenal oleh para penghuni bumi.”
Fadlil bin Iyadh berkata,” Jika anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah! Anda tidak merugi sekiranya anda tidak disanjung orang lain.  Demikian pula, janganlah gusar jika anda menjadi orang yang tercela dimata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhorkat disisi Allah.”
Kita tidak boleh memahami ucapan-ucapan ulama diatas sebagai seruan untuk mengasingkan diri dari khalayak ramai. Kita harus memahami semua ucapan ulama diatas sebagai peringatan dan renungan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Dengan demikian, kita akan selalu sadar bahwa didalam diri kita terpendam keinginan hawa nafsu. Kita harus selalu waspada terhadap setiap cela dan lubang didalam hati manusia yang selalu disusupi oleh setan.
Pada hakikatnya, popularitas itu tidak tercela oleh Islam. Para Nabi sendiri, para Khulafaur-Rasyidin dan para imam mujtahid adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang ialah meminta nama kita dipopularkan, meminta jabatan, dan bersikap rakus terhadap kedudukan. Adapun jika semua itu kita dapatkan tanpa meminta atau kita tidak berambisi meraihnya, maka hal itu tidak mengapa. Sekalipun hal seperti itu-menurut Imam al-Ghazali- menimbulkan mala petaka bagi orang yang lemah, bukan orang yang kuat.
( Sumber: Ikhlas Sumber Kekuatan Islam, DR. Yusuf Qardhawi)

Tidak ada komentar: