Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri diantara
kamu. Apabila kamu berselisih mengenai sesuatu, maka
kembalilkanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya. (QS.
An-Nisa’ 4: 59)
Menurut Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, firman Allah Ta’ala
“Apabila kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
dan Rasul” maksudnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Ini merupakan perintah
Allah Ta’ala bahwa segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia baik berupa
pokok-pokok agama maupun perkara furu’ hendaknya perselisihan itu dikembalikan
kepada Kitab dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, “ Perkara apa saja yang kamu
perselisihkan, maka ketetapannya dikembalikan kepada Allah”. Apapun yang
ditetapkan oleh Al-Kitab dan Sunnah serta keduanya membuktikan kesahihan
perkara itu, maka itulah kebenaran; tiada perkara setelah kebenaran kecuali
kesesatan. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1,Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)
Pernahkah anda mengamalkan ritual-ritual agama yang tidak
jelas dalilnya tetapi menurut sebagian orang baik untuk dilakukan, sementara
menurut orang yang lain tidak patut dilakukan karena ibadah harus ada dalilnya?
Menghadapi masalah ini, kita dituntut untuk cerdas. Cerdas mensikapinya dan
cerdas mengambil pilihan. Memilih untuk terus mengamalkannya atau segera
berhenti/meninggalkan amalan tersebut dan bertobat kepada Allah SWT. Kecerdasan
berdasarkan kesucian hati yang tunduk kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam perlu kita miliki, karena menyangkut nilai kehidupan didunia
dan di akhirat kelak. Kecerdasan yang berkaitan dengan “jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”.
Jika penjelasan Ibnu Katsir diatas belum memberi keyakinan
untuk menentukan pilihan, yaitu meninggalkan amalan-amalan yang tidak ada dalil
dari Al-qur’an atau Sunnah, maka patut pula diperhatikan pernyataan Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal
dan Imam Malik bin Anas yang dikemukakan oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
*Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara
jelas telah mengetahui suatu Hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya
guna mengikuti pendapat seseorang.
*Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan
dengan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, peganglah Hadits
Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu.
*Kalian (ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin
Hambal) lebih tahu tentang Hadits dan
para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah
kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai
aku pergi menemuinya.
*Bila suatu masalah ada Hadits yang sah dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku
menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah
aku mati.
*Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang
ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti
bahwa pendapatku tidak berguna.
*Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan
bertaqlid kepadaku.(Imam Syafi’i)
Para murid Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit telah
meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya
mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang pada Hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para imam
bila bertentangan dengan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapan
beliau :
*Jika suatu hadits shahih, itulah mazhabku.
*Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia
tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya.
*Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan :” Orang
yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk
memberi fatwa”. Pada riwayat lain ditambahkan :”Kami hanyalah seorang manusia.
Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami mencabutnya”.
*Pada riwayat lain dikatakan:” Wahai Ya’qub (Abu Yusuf),
celakalah kamu! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini
saya berpendapat demikian, tetapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya
berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya.
*Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tinggalkanlah pendapatku itu. (Imam Abu Hanifah)
Imam Ahmad bin Hambal menyatakan, janganlah engkau taqlid
kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari
sumber mereka mengambil.
*Pada riwayat lain disebutkan:” Janganlah kamu taqlid kepada
siapapun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu
ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau
menerima)”. Kali lain dia berkata:” Yang dinamakan ittiba’, yaitu mengikuti apa
yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,
sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih”.
*Pendapat Auza’i,
Malik dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama
saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (Hadits)
*Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran.
Imam Malik bin Anas menyatakan, saya hanyalah seorang
manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah
pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak
sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.
*Siapapun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima,
kecuali hanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
*Ibnu Wahhab berkata :” Saya pernah mendengar Malik menjawab
pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya:’
Hal itu bukan urusan manusia’. Ibnu Wahhab berkata :” Lalu saya tinggalkan
beliau sampai orang-orang yang mengelilingi tinggal sedikit, kemudian saya
berkata kepadanya” Kita mempunyai hadits mengenai hal tersebut. ‘ Dia
bertanya:” Bagaimana hadits itu? Saya jawab :” Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah,
‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr Al-Mu’afiri, dari
Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syahdad Al-Qurasyiyyi, ujarnya :
Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari
manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya. Malik menyahut :”Hadits ini hasan,
saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini”. Kemudian dilain waktu
saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh
orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya.
(Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi SAW)
Dengan mencermati pendapat para Imam tersebut, tentu kita semakin
cerdas dalam beribadah. Tidak mudah terpengaruh oleh “kata orang”. Tidak mudah
pula untuk ikut-ikutan dalam beramal. Wallahu a’lam...
(Pekanbaru, Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar