Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, Januari 10, 2013

Taat Kepada Allah, Rasul Dan Ulil Amri


Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri diantara kamu. Apabila kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalilkanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya. (QS. An-Nisa’ 4: 59)
Menurut Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, firman Allah Ta’ala “Apabila kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul” maksudnya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Ini merupakan perintah Allah Ta’ala bahwa segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia baik berupa pokok-pokok agama maupun perkara furu’ hendaknya perselisihan itu dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, “ Perkara apa saja yang kamu perselisihkan, maka ketetapannya dikembalikan kepada Allah”. Apapun yang ditetapkan oleh Al-Kitab dan Sunnah serta keduanya membuktikan kesahihan perkara itu, maka itulah kebenaran; tiada perkara setelah kebenaran kecuali kesesatan. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1,Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)

Pernahkah anda mengamalkan ritual-ritual agama yang tidak jelas dalilnya tetapi menurut sebagian orang baik untuk dilakukan, sementara menurut orang yang lain tidak patut dilakukan karena ibadah harus ada dalilnya? Menghadapi masalah ini, kita dituntut untuk cerdas. Cerdas mensikapinya dan cerdas mengambil pilihan. Memilih untuk terus mengamalkannya atau segera berhenti/meninggalkan amalan tersebut dan bertobat kepada Allah SWT. Kecerdasan berdasarkan kesucian hati yang tunduk kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perlu kita miliki, karena menyangkut nilai kehidupan didunia dan di akhirat kelak. Kecerdasan yang berkaitan dengan “jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”.
Jika penjelasan Ibnu Katsir diatas belum memberi keyakinan untuk menentukan pilihan, yaitu meninggalkan amalan-amalan yang tidak ada dalil dari Al-qur’an atau Sunnah, maka patut pula diperhatikan pernyataan  Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Imam Malik bin Anas yang dikemukakan oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
*Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu Hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.
*Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu.
*Kalian (ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hambal)  lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.
*Bila suatu masalah ada Hadits yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.
*Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti bahwa pendapatku tidak berguna.
*Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.(Imam Syafi’i)
Para murid Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang pada Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan dengan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapan beliau :
*Jika suatu hadits shahih, itulah mazhabku.
*Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu darimana kami mengambil sumbernya.
*Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan :” Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberi fatwa”. Pada riwayat lain ditambahkan :”Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami mencabutnya”.
*Pada riwayat lain dikatakan:” Wahai Ya’qub (Abu Yusuf), celakalah kamu! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tetapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya.
*Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu. (Imam Abu Hanifah)
Imam Ahmad bin Hambal menyatakan, janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.
*Pada riwayat lain disebutkan:” Janganlah kamu taqlid kepada siapapun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima)”. Kali lain dia berkata:” Yang dinamakan ittiba’, yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih”.
*Pendapat Auza’i,  Malik dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (Hadits)
*Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran.
Imam Malik bin Anas menyatakan, saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.
*Siapapun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
*Ibnu Wahhab berkata :” Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya:’ Hal itu bukan urusan manusia’. Ibnu Wahhab berkata :” Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilingi tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya” Kita mempunyai hadits mengenai hal tersebut. ‘ Dia bertanya:” Bagaimana hadits itu? Saya jawab :” Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syahdad Al-Qurasyiyyi, ujarnya : Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya. Malik menyahut :”Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini”. Kemudian dilain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya.
(Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat Shalat Nabi SAW)
Dengan mencermati pendapat para Imam tersebut, tentu kita semakin cerdas dalam beribadah. Tidak mudah terpengaruh oleh “kata orang”. Tidak mudah pula untuk ikut-ikutan dalam beramal. Wallahu a’lam...
(Pekanbaru, Desember 2012)

Tidak ada komentar: