Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, Februari 28, 2013

Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk

Allah tidak menyukai perkataan yang buruk dan diucapkan dengan jelas, kecuali dari orang yang dizalimi. Adalah Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nisaa 4: 148)
Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain) maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. ( QS. An- Nisaa 4: 149)
Sehubungan dengan ayat ini, Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “ Allah tidak menyukai orang yang mendoakan buruk kepada orang lain, kecuali jika ia dizalimi. Orang dizalimi diberi kemurahan untuk mendoakan buruk kepada orang yang menzaliminya”. Itulah maksud firman Allah “ kecuali orang yang dizalimi”. Jika dia bersabar, maka hal itu lebih baik baginya. Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah bahwa dia kecurian suatu barang, maka dia mendoakan buruk kepada pencurinya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mengumpatnya“, yakni mendoakan buruk terhadapnya.

Hasan Basri berkata,” Janganlah mendoakan buruk kepadanya, namun katakanlah, ‘ Ya Allah bantulah aku untuk mengatasinya dan keluarkanlah hakku dari dirinya”.
Sehubungan dengan ayat ini ada yang berpendapat bahwa jika seseorang mencacimu, maka cacilah dia. Namun jika dia membual mengenai kamu, maka kamu jangan membual mengenai dia. Mujahit berkata,” Seseorang bertamu kepada orang lain. Tuan rumah tak memberinya hak jamuan. Setelah dia keluar, maka dia menceritakan kepada khalayak, “ Saya bertamu kepada si Fulan, namun dia tidak memberiku hak jamuan”. Menurut penutur kasus ini, itulah dimaksud oleh “perkataan yang buruk dan diucapkan secara terang-terangan, kecuali oleh orang yang dizalimi” hingga tuan rumah memberikan hak jamuan kepada tamunya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Muqaddam bin Abi Karimah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
Siapa saja diantara muslim yang bertamu kepada suatu kaum, lalu tamu itu tidak mendapat jamuan, maka wajib bagi setiap muslim untuk menolong tuan rumah hingga dia mengambil jamuan malamnya dari ladang dan hartanya. (HR. Ahmad)
Berangkat dari hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, Ahmad, dan ulama lainnya berpendapat bahwa memberi jamuan itu wajib.
Al-Hafizh al-Bazar meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “ Saya punya tetangga yang suka menyakitiku”. Maka Nabi bersabda,”Keluarkanlah semua barang-barangmu dari rumah dan letakkan dijalan”. Kemudian orang itu mengeluarkan barang-barangnya kejalan. Setiap orang yang lewat disana bertanya, “ Apa yang terjadi padamu? Maka aku menjawab bahwa tetanggaku menyakitiku”. Maka orang yang lewat itu bergumam, “ Ya Allah, kutuklah dia! Ya Allah, hinakanlah dia!” Abu Hurairah berkata ,” Kemudian si tetangga berkata, “ Kembalilah kerumahmu. Demi Allah aku tidak akan pernah menyakitimu lagi”.
Firman Allah:” Apabila kamu menampakkan kebaikan atau menyembunyikannya atau memaafkan keburukan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Mahakuasa”, maksudnya, apabila kamu menampakkan kebaikan, atau menyembunyikannya, atau memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, maka sesungguhnya hal itu merupakan salah satu perkara yang akan mendekatkanmu dengan Allah serta memperbanyak pahalamu di sisi-Nya. Karena diantara sifat Allah Ta’ala ialah Dia mengampuni hamba-hamba Nya padahal Dia berkuasa untuk menyiksanya. Oleh karena itu, Allah berfirman, “ Maha Pengampun lagi Maha Kuasa”. Dalam hadits sahih dikatakan :
Harta tidak akan berkurang karena disedekahkan; hamba yang suka memberi maaf, akan lebih dimuliakan Allah, dan barangsiapa merendahkan diri kepada Allah, maka Dia akan meninggikan derajatnya.
(Sumber: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)


Tidak ada komentar: