Sekiranya orang yang
lewat di depan orang yang shalat tahu betapa besar dosanya, ia lebih baik
berdiri selama 40 (tahun) didepan orang itu daripada melaluinya. (HR.
Bukhari-Muslim)
Jika kita amati, masih banyak umat Islam mengambil posisi
ditengah atau dibelakang ketika melakukan shalat didalam masjid atau mushalla.
Hal ini tentu menyulitkan bagi orang-orang yang akan memasuki atau keluar
masjid atau mushalla tersebut. Untuk itu, sebaiknya jika melaksanakan shalat di
masjid, mushalla atau tempat shalat lainnya, hendaklah mengambil posisi didepan
dekat dinding, dibelakang tiang atau
memasang sutrah (pembatas).
Sebagai panduan, Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam bukunya
“Sifat Shalat Nabi SAW” menulis beberapa hadits tentang kewajiban memasang
sutrah (pembatas).
Janganlah kamu shalat
tanpa memasang sutrah dan janganlah engkau membiarkan seseorang lewat dihadapan
kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia memaksa terus lewat didepanmu, bunuhlah dia
karena dia ditemani oleh setan. {HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad jayyid (baik)}
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara
beliau dengan pembatas didepannya 3 hasta. (HR. Bukhari-Ahmad)
Jarak antara tempat
sujud dengan pembatas tersebut kurang lebih cukup untuk dilewati seekor anak
kambing.(HR. Bukhari-Muslim)
Bila seseorang diantara
kamu shalat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan
tidak dapat memutus shalatnya. (HR. Abu Dawud-Al-Bazzar-Hakim)
Terkadang beliau
memilih didekat tiang yang terdapat didalam masjidnya.(X)
Bila beliau shalat
(ditempat terbuka yang tidak sesuatupun menutupinya), beliau menancapkan tombak
didepannya, lalu shalat menghadap tombak tersebut, sedang para sahabat
bermakmum dibelakangnya. (HR. Bukhari-Muslim-Ibnu Majah)
Terkadang beliau
mengambil pelana, lalu meletakkannya didepan beliau, kemudian beliau shalat
menghadap kearahnya. (HR. Muslim-Ibnu Khuzaimah-Ahmad)
Jika seseorang diantara
kamu telah meletakkan tiang setinggi pelana, shalatlah dengan tidak perlu
menghiraukan orang yang lewat disebelah tiang tersebut. (HR. Muslim-Abu Dawud)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
membiarkan apa pun lewat didepan sutrahnya.
Suatu ketika pernah
seekor anak kambing melintas didepan beliau sedang shalat, lalu beliau maju
mendahuluinya sampai perutnya menempel dinding (sehingga anak kambing tersebut
lewat dibelakang beliau). (HR. Ibnu Khuzaimah-Thabarani-Hakim)
Beliau pernah melakukan shalat wajib dengan menggenggam
tangannya. Ketika selesai shalat para sahabat bertanya:” Wahai Rasulullah,
apakah ada sesuatu yang baru dalam shalat? Sabdanya; “
Tidak, tetapi
sesungguhnya setan hendak lewat dihadapanku, lalu aku cekik sampai tanganku
merasakan mulutnya yang dingin. Demi Allah, seandainya saudaraku Nabi Sulaiman
tidak mendahului aku, niscaya akan aku ikat setan itu disalah satu tiang masjid
ini supaya bisa dilihat oleh anak-anak penduduk Madinah. (Oleh karena itu,
siapa saja dapat memasang sutrah dihadapannya sehingga orang lain tidak dapat
melewatinya, lakukanlah!). (HR. Ahmad-Daraquthni-Thabarani dengan sanad shahih)
Bila seseorang di
antara kamu shalat menghadap sesuatu yang dapat menghalangi orang lain untuk
lewat, kemudian ada orang yang hendak melanggarnya, hendaklah ia kamu tolak
sejauh kemampuanmu sebanyak 2 kali. Jika dia bersikeras melakukannya, hendaklah
ia bunuh (orang itu) karena orang seperti itu adalah setan. (HR.
Bukhari-Muslim-Ibnu Khuzaimah)
(X).
Sutrah dalam shalat menjadi keharusan imam dan orang yang shalat sendirian,
sekalipun di masjid besar. Demikianlah pendapat Ibnu Hani’ dalam kitab Masa’il,
dari Imam Ahmad. Ujarnya:” Pada suatu hari saya shalat tanpa memasang sutrah di
depan saya, padahal saya melakukan shalat didalam masjid Jami’. Imam Ahmad
melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya:” Pasanglah sesuatu sebagai
sutrahmu!”. Aku memasang orang untuk menjadi sutrah.
Komentar
saya (Al-Albani): Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang
yang shalat di masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang
sutrah didepannya. Pendapat inilah yang benar, namun kebanyakan orang yang
shalat di masjid-masjid besar atau yang lainnya disemua negeri mengabaikan hal
ini, termasuk orang-orang Saudi yang saya lihat ketika pertama kali saya berkesempatan
thawaf di Masjidil Haram pada bulan Rajab tahun 1410 Hijriah. Hendaknya para
ulama mengingatkan umat tentang hal ini dan menjelaskan kepada mereka hukum
memasang sutrah. Kewajiban ini juga berlaku di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
(Sumber: Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sifat
Shalat Nabi SAW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar