M. Nashiruddin Al-Albani dalam Tuntunan Lengkap Mengurus
Jenazah menjelaskan, bahwa hendaklah sebagian dari mereka menyegerakan untuk
melunasi utang-utang si mayat dari harta yang dimilikinya. Apabila si mayat
tidak meninggalkan harta atau tidak mampu, hendaklah negara yang menanggungnya
bila terbukti sang mayat semasa hidupnya
telah berusaha untuk melunasi seluruh utangnya. Kalau pemerintah atau negara
tidak juga memperhatikan hal ini, maka diperbolehkan dari sebagian kaum
muslimin untuk melunasinya dengan sukarela. Hal ini berdasarkan beberapa hadits
sahih berikut :
Pertama, hadits yang dikisahkan dari Sa’ad
ibnul Athwal r.a. Saudaraku telah wafat, Ia meninggalkan tiga ratus dirham dan
beberapa anak dan aku hendak memberikan harta peninggalan itu kepada
anak-anaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahuku, “ Saudaramu terpenjara oleh utang-utangnya,
karena itu pergilah engkau untuk melunasinya”. Akupun pergi melunasi utang
saudaraku, dan kembali menemui Rasulullah seraya kukatakan kepada beliau, Wahai
Rasulullah, aku telah tunaikan seluruh utang saudaraku dan tak tersisa kecuali
dua dinar yang diakui oleh seorang
wanita namun ia tidak mempunyai bukti yang cukup. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab :” Bayarkanlah
pada wanita itu karena sesungguhnya ia benar”. Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya ia jujur”. (HR. Ibnu Majah,
Ahmad, al- Baihaqi)
Kedua, hadits dari Samurah bin Jundub
mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menshalati jenazah
(dalam riwayat lain melakukan shalat subuh). Ketika hendak beranjak pergi,
beliau bertanya:” Apakah disini ada salah
seorang dari keluarga si Fulan ? (Saat itu tak satupun dari orang-orang
yang hadir menjawab pertanyaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kendati
beliau mengulang-ulang pertanyaan sampai tiga kali). Tiba-tiba berdirilah
seorang diantara mereka dan berkata, “ Ini orangnya...”, lalu berdiri seseorang
dengan menyeret sarungnya dari belakang jamaah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepadanya, “Apa yang
membuatmu diam ketika saya mengulang-ulang pertanyaanku tadi? Sungguh aku tidak
menyebut-nyebutkan namamu kecuali untuk kebaikan. Sesungguhnya si Fulan
(seorang dari kaumnya) tertawan karena utangnya untuk masuk surga, maka bila
kalian menghendaki, biarkan dia untuk disiksa. Aku berharap keluarganya atau
orang-orang yang mengurusinya agar bangkit dan membayar utang-utangnya
(sehingga tidak ada lagi orang yang menagihnya). (HR. Abu Daud, An-Nasa’i,
al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
Ketiga, Jabir bin Abdullah r.a berkata,”
Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikannya, mengkafaninya, dan
memberinya wewangian, kemudian kami hadirkan jenazah ketempat Maqam Jibril.
Rasulullah mengizinkan kami untuk menshalatinya., lalu beliau mendatanginya
bersama kami dengan beberapa langkah dan bersabda:” Barangkali kawan kalian ini masih mempunyai utang? Orang-orang yang
hadir menjawab, “ Ya, memang ada dua dinar”. Beliaupun kemudian enggan
menshalatinya dan bersabda:” Shalatilah
oleh kalian teman kalian ini”. Lalu berkatalah salah seorang dari kami
bernama Abu Qatadah, “ Ya Rasulullah, utangnya menjadi tanggunganku”. Beliau
bersabda: “Dua dinar utangnya itu menjadi
tangunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedang si mayat terbebas dari utang
itu”. Orang itu menjawab, “Ya benar”. Rasulullah pun kemudian
menshalatinya. Dan setiap kali Rasul bertemu Abu Qatadah , beliau menanyakan.
Dalam riwayat lain disebutkan, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjumpainya di kemudian hari seraya menanyakannya :” Apa yang telah kau perbuat dengan dua dinar
utangnya? Dijawab, “ Telah aku lunasi, wahai Rasulullah”. Beliau kemudian
bersabda:” Kini barulah kulitnya merasa
dingin karena bebas dari siksaan”. (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayusi,
dan Ahmad)
Catatan :
Hadis ini memberi peringatan kepada kita bahwa pembayaran
utang yang ditanggung Abu Qatadah adalah setelah Rasul menshalati sang mayat.
Ini adalah muskil. Sebab, ada diriwayatkan lewat periwayatan sahih Abu
Qatadah sendiri yang memberi tekanan bahwa ia melunasi utang sang mayat-yang
menjadi tanggungannya- sebelum shalat, seperti yang akan dijelaskan nanti. Bila
periwayatan tersebut tidak terulang kejadiannya, maka periwayatan Abu Qatadah
lebih sahih. Dalam riwayat jabir terdapat seorang perawi bernama Abdullah bin
Muhammad bin Aqil yang dipermasalahkan kalangan muhaditsin sehinga dinyatakan
hasan periwayatannya oleh mereka, bila tidak terbukti tidak adanya
perselisihan. Wallahu a’lam.
Hadits-hadits tersebut memberi peringatan bahwa seseorang
yang telah meninggal dunia akan mendapat faedah dengan terlunasi utang-utangnya
sekalipun bukan dari anaknya. Selain itu, dilunasinya utang tersebut
menyebabkan terhentinya siksaan yang menimpanya. Hal ini merupakan pengkhususan
bagi makna umum redaksi firman Allah SWT berikut:
Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm 39)
Juga terhadap sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang sangat masyhur diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, serta Imam Ahmad, “ Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka
terputuslah seluruh amalannya...”
Satu hal yang perlu digaris bawahi dalam hal ini bahwa ada
perbedaan antara menanggung pelunasan utang sang mayat dengan bersedekah untuk
sang mayat. Melunasi utang sang mayat lebih khusus ketimbang bersedekah
untuknya. Sebagian ulama mencatat adanya ijma tersebut maka itulah kebenaran.
Namun bila tidak, maka hadits-hadits sahih yang diriwayatkan berkenaan dengan
sedekah itu maksudnya adalah dari anak kepada kedua orang tuanya. Hal demikian
dikarenakan anak adalah bagian dari jerih payah kedua orang tuanya, seperti
yang ditegaskan dalam nash. Jadi, mengqiyaskan perbuatan orang lain yang
dinisbatkan kepada sang mayat tidaklah tepat. Itu adalah qiyasun ma’al
fariqi (pengqiyasan yang berbeda atau berlawanan) seperti tampak dengan
jelas. Begitu juga tidak dibenarkan bila mengqiyaskan sedekah dengan pelunasan
utang, dikarenakan sedekah adalah umum sedangkan pelunasan utang adalah khusus.
Barangkali masalah ini perlu penjelasan lebih detail dan lebih rinci pada
kesempatan lain.
Keempat, Jabir bin Abdillah r.a berkata bahwa
ayahnya gugur dalam Perang Uhud dan meninggalkan enam orang putri serta utang
30 gantang atau 1.500 kilo kurma dan para pemberi utang menuntut hak-hak
mereka. Maka ketika tiba panen kurma aku mendatangi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata:” Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui bahwa
ayahku telah wafat pada Perang Uhud dan meninggalkan banyak utang dan aku berharap
engkau dapat bertemu dengan para pemberi utang itu. Beliau bersabda: ” Pergilah dan isilah tiap-tiap bejana dengan
kurma sesuai kualitasnya”. Aku pun melakukan apa yang diperintahkan beliau.
Kemudian aku memanggil beliau (dan mendatangi kami keesokan harinya). Ketika
mereka memandang kepadanya mereka memujiku saat itu. Dan ketika beliau melihat
apa yang telah mereka kumpulkan, aku menjaga ketiga bejana besar (lalu beliau
mendo’a kan kurma-kurmanya agar diberkahi) seraya beliau Shallalahu ‘alaihi wa
sallam duduk didekatnya dan berkata kepadaku,” Panggillah mereka (para penagih utang”.
Mereka tak henti-hentinya menimbang guna pembayaran utang itu
hingga akhirnya Allah SWT memenuhi apa yang diamanatkan ayahku. Aku sendiri
benar-benar merasa rela dengan apa yang telah Allah penuhi berupa pelaksanaan
amanat tersebut sehingga aku tak membawa sisa kurma untuk saudara-saudara
perempuanku. Bahkan, demi Allah, aku serahkan semua bejana tersebut sampai
terakhir aku lihat bejana yang ada didekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tak tersisa sebuahpun. (Aku pun terus bersama Rasulullah Shallahu
‘alaihi wa sallam hingga tiba waktu magrib, seraya ku beritakan dan beliau
tertawa). Kemudian beliau berkata kepadaku :” Pergi dan datangilah Abu Bakar dan Umar lalu ceritakan kepada keduanya
tentang hal ini”. Kemudian keduanya berkata :” Sungguh kami telah
mengetahui apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu
bakal terjadi”. (HR. Imam Bukhari, Abu Daud, ad-Darimi, Ibnu Majah, al-Baihaqi
dan Ahmad)
Kelima, hadits dari Jabir bin Abdillah r.a.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri seraya
berkhutbah, memuji-Nya, dan memuji siapa
yang memang berhak untuk dipuji dan bersabda:”Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada kesesatan baginya,
dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka tak ada yang dapat memberi–Nya petunjuk.
Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik bimbingan
adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan
seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan
adalah bid’ah (dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan
berkesudahan di neraka)”. Apabila Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan tentang hari kiamat, merahlah kedua matanya, meninggikan suaranya,
dan tampak marahnya seolah-olah bagaikan komandan pasukan. Beliau bersabda:”Baik pagi maupun sore, barangsiapa
meninggalkan harta maka itu adalah bagi ahli warisnya, dan barangsiapa
meninggalkan anak-anak atau utang maka menjadi tanggunganku, dan aku (lebih
utama) daripada orang-orang mukmin”. (HR. Imam Muslim, Imam Ahmad, Abu
Na’im. An-Nasa’i dan al-Baihaqi)
Keenam, Aisyah r.a berkata, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :”Barangsiapa dari umatku
berutang, dan berusaha untuk membayar utang tersebut, namun ia meninggal
terlebih dahulu sebelum membayar hutangnya itu, maka akulah walinya”.(HR.
Imam Ahmad dan Abu Ya’la)
(Sumber: Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, M.
Nashiruddin Al-Albani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar