Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Minggu, Februari 03, 2013

Menyegerakan Melunasi Hutang Si Mayat


M. Nashiruddin Al-Albani dalam Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah menjelaskan, bahwa hendaklah sebagian dari mereka menyegerakan untuk melunasi utang-utang si mayat dari harta yang dimilikinya. Apabila si mayat tidak meninggalkan harta atau tidak mampu, hendaklah negara yang menanggungnya bila terbukti sang mayat  semasa hidupnya telah berusaha untuk melunasi seluruh utangnya. Kalau pemerintah atau negara tidak juga memperhatikan hal ini, maka diperbolehkan dari sebagian kaum muslimin untuk melunasinya dengan sukarela. Hal ini berdasarkan beberapa hadits sahih berikut :
Pertama, hadits yang dikisahkan dari Sa’ad ibnul Athwal r.a. Saudaraku telah wafat, Ia meninggalkan tiga ratus dirham dan beberapa anak dan aku hendak memberikan harta peninggalan itu kepada anak-anaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahuku, “ Saudaramu terpenjara oleh utang-utangnya, karena itu pergilah engkau untuk melunasinya”. Akupun pergi melunasi utang saudaraku, dan kembali menemui Rasulullah seraya kukatakan kepada beliau, Wahai Rasulullah, aku telah tunaikan seluruh utang saudaraku dan tak tersisa kecuali dua dinar  yang diakui oleh seorang wanita namun ia tidak mempunyai bukti yang cukup. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :” Bayarkanlah pada wanita itu karena sesungguhnya ia benar”. Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya ia jujur”. (HR. Ibnu Majah, Ahmad, al- Baihaqi)

Kedua, hadits dari Samurah bin Jundub mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menshalati jenazah (dalam riwayat lain melakukan shalat subuh). Ketika hendak beranjak pergi, beliau bertanya:” Apakah disini ada salah seorang dari keluarga si Fulan ? (Saat itu tak satupun dari orang-orang yang hadir menjawab pertanyaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kendati beliau mengulang-ulang pertanyaan sampai tiga kali). Tiba-tiba berdirilah seorang diantara mereka dan berkata, “ Ini orangnya...”, lalu berdiri seseorang dengan menyeret sarungnya dari belakang jamaah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu diam ketika saya mengulang-ulang pertanyaanku tadi? Sungguh aku tidak menyebut-nyebutkan namamu kecuali untuk kebaikan. Sesungguhnya si Fulan (seorang dari kaumnya) tertawan karena utangnya untuk masuk surga, maka bila kalian menghendaki, biarkan dia untuk disiksa. Aku berharap keluarganya atau orang-orang yang mengurusinya agar bangkit dan membayar utang-utangnya (sehingga tidak ada lagi orang yang menagihnya). (HR. Abu Daud, An-Nasa’i, al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
Ketiga, Jabir bin Abdullah r.a berkata,” Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikannya, mengkafaninya, dan memberinya wewangian, kemudian kami hadirkan jenazah ketempat Maqam Jibril. Rasulullah mengizinkan kami untuk menshalatinya., lalu beliau mendatanginya bersama kami dengan beberapa langkah dan bersabda:” Barangkali kawan kalian ini masih mempunyai utang? Orang-orang yang hadir menjawab, “ Ya, memang ada dua dinar”. Beliaupun kemudian enggan menshalatinya dan bersabda:” Shalatilah oleh kalian teman kalian ini”. Lalu berkatalah salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah, “ Ya Rasulullah, utangnya menjadi tanggunganku”. Beliau bersabda: “Dua dinar utangnya itu menjadi tangunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedang si mayat terbebas dari utang itu”. Orang itu menjawab, “Ya benar”. Rasulullah pun kemudian menshalatinya. Dan setiap kali Rasul bertemu Abu Qatadah , beliau menanyakan. Dalam riwayat lain disebutkan, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya di kemudian hari seraya menanyakannya :” Apa yang telah kau perbuat dengan dua dinar utangnya? Dijawab, “ Telah aku lunasi, wahai Rasulullah”. Beliau kemudian bersabda:” Kini barulah kulitnya merasa dingin karena bebas dari siksaan”. (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayusi, dan Ahmad)
Catatan :
Hadis ini memberi peringatan kepada kita bahwa pembayaran utang yang ditanggung Abu Qatadah adalah setelah Rasul menshalati sang mayat. Ini adalah muskil. Sebab, ada diriwayatkan lewat periwayatan sahih Abu Qatadah sendiri yang memberi tekanan bahwa ia melunasi utang sang mayat-yang menjadi tanggungannya- sebelum shalat, seperti yang akan dijelaskan nanti. Bila periwayatan tersebut tidak terulang kejadiannya, maka periwayatan Abu Qatadah lebih sahih. Dalam riwayat jabir terdapat seorang perawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Aqil yang dipermasalahkan kalangan muhaditsin sehinga dinyatakan hasan periwayatannya oleh mereka, bila tidak terbukti tidak adanya perselisihan. Wallahu a’lam.
Hadits-hadits tersebut memberi peringatan bahwa seseorang yang telah meninggal dunia akan mendapat faedah dengan terlunasi utang-utangnya sekalipun bukan dari anaknya. Selain itu, dilunasinya utang tersebut menyebabkan terhentinya siksaan yang menimpanya. Hal ini merupakan pengkhususan bagi makna umum redaksi firman Allah SWT berikut:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm 39)
Juga terhadap sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat masyhur diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, serta Imam Ahmad, “ Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya...”
Satu hal yang perlu digaris bawahi dalam hal ini bahwa ada perbedaan antara menanggung pelunasan utang sang mayat dengan bersedekah untuk sang mayat. Melunasi utang sang mayat lebih khusus ketimbang bersedekah untuknya. Sebagian ulama mencatat adanya ijma tersebut maka itulah kebenaran. Namun bila tidak, maka hadits-hadits sahih yang diriwayatkan berkenaan dengan sedekah itu maksudnya adalah dari anak kepada kedua orang tuanya. Hal demikian dikarenakan anak adalah bagian dari jerih payah kedua orang tuanya, seperti yang ditegaskan dalam nash. Jadi, mengqiyaskan perbuatan orang lain yang dinisbatkan kepada sang mayat tidaklah tepat. Itu adalah qiyasun ma’al fariqi (pengqiyasan yang berbeda atau berlawanan) seperti tampak dengan jelas. Begitu juga tidak dibenarkan bila mengqiyaskan sedekah dengan pelunasan utang, dikarenakan sedekah adalah umum sedangkan pelunasan utang adalah khusus. Barangkali masalah ini perlu penjelasan lebih detail dan lebih rinci pada kesempatan lain.
Keempat, Jabir bin Abdillah r.a berkata bahwa ayahnya gugur dalam Perang Uhud dan meninggalkan enam orang putri serta utang 30 gantang atau 1.500 kilo kurma dan para pemberi utang menuntut hak-hak mereka. Maka ketika tiba panen kurma aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:” Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui bahwa ayahku telah wafat pada Perang Uhud dan meninggalkan banyak utang dan aku berharap engkau dapat bertemu dengan para pemberi utang itu. Beliau bersabda: ” Pergilah dan isilah tiap-tiap bejana dengan kurma sesuai kualitasnya”. Aku pun melakukan apa yang diperintahkan beliau. Kemudian aku memanggil beliau (dan mendatangi kami keesokan harinya). Ketika mereka memandang kepadanya mereka memujiku saat itu. Dan ketika beliau melihat apa yang telah mereka kumpulkan, aku menjaga ketiga bejana besar (lalu beliau mendo’a kan kurma-kurmanya agar diberkahi) seraya beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam duduk didekatnya dan berkata kepadaku,” Panggillah mereka (para penagih utang”.
Mereka tak henti-hentinya menimbang guna pembayaran utang itu hingga akhirnya Allah SWT memenuhi apa yang diamanatkan ayahku. Aku sendiri benar-benar merasa rela dengan apa yang telah Allah penuhi berupa pelaksanaan amanat tersebut sehingga aku tak membawa sisa kurma untuk saudara-saudara perempuanku. Bahkan, demi Allah, aku serahkan semua bejana tersebut sampai terakhir aku lihat bejana yang ada didekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak tersisa sebuahpun. (Aku pun terus bersama Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam hingga tiba waktu magrib, seraya ku beritakan dan beliau tertawa). Kemudian beliau berkata kepadaku :” Pergi dan datangilah Abu Bakar dan Umar lalu ceritakan kepada keduanya tentang hal ini”. Kemudian keduanya berkata :” Sungguh kami telah mengetahui apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu bakal terjadi”. (HR. Imam Bukhari, Abu Daud, ad-Darimi, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan Ahmad)
Kelima, hadits dari Jabir bin Abdillah r.a. Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri seraya berkhutbah, memuji-Nya, dan memuji siapa  yang memang berhak untuk dipuji dan bersabda:”Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada kesesatan baginya, dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka tak ada yang dapat memberi–Nya petunjuk. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik bimbingan adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah (dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan berkesudahan di neraka)”. Apabila Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan tentang hari kiamat, merahlah kedua matanya, meninggikan suaranya, dan tampak marahnya seolah-olah bagaikan komandan pasukan. Beliau bersabda:”Baik pagi maupun sore, barangsiapa meninggalkan harta maka itu adalah bagi ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan anak-anak atau utang maka menjadi tanggunganku, dan aku (lebih utama) daripada orang-orang mukmin”. (HR. Imam Muslim, Imam Ahmad, Abu Na’im. An-Nasa’i dan al-Baihaqi)
Keenam, Aisyah r.a berkata,  Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa dari umatku berutang, dan berusaha untuk membayar utang tersebut, namun ia meninggal terlebih dahulu sebelum membayar hutangnya itu, maka akulah walinya”.(HR. Imam Ahmad dan Abu Ya’la)
(Sumber: Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, M. Nashiruddin Al-Albani)

Tidak ada komentar: