Dan bersegeralah kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. ( Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya) baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran 3:
133-134)
Didalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa Allah
Ta’ala menceritakan sifat ahli surga. Dia berfirman, “Orang-orang
yang menginfakkan hartanya, baik diwaktu lapang maupun sempit” yakni pada
saat sulit dan lapang, saat giat dan malas, saat sehat dan sakit, dan dalam
segala hal dan keadaan. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang menginfakkan
hartanya pada malam dan siang hari, secara rahasia maupun terang-terangan”. Maksud ayat
ialah bahwa mereka tidak dilalaikan oleh perkara apapun untuk menaati Allah
Ta’ala dan berinfak untuk memperoleh ridha-Nya.
Firman
Allah,”Yang menahan marah dan yang memaafkan manusia”. Yakni, bila mereka
marah, maka mereka menahannya, dalam arti menyembunyikannya sehingga orang lain
tidak mengetahuinya. Disamping itu, apabila orang lain berbuat buruk
terhadapnya, maka dia memaafkannya.
Dalam beberapa
atsar dikatakan sebagai berikut. Allah Ta’ala berfirman,” Wahai manusia, ingatlah kepada-Ku jika kamu marah, maka Aku akan
mengingatmu bila Aku murka sehingga Aku tidak akan membinasakanmu sebagai orang
yang Ku binasakan”. (HR. Ibnu Abi Hatim)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Orang yang kuat
pemberani bukanlah yang dapat menaklukkan musuh dalam gulat, namun orang yang
dapat mengendalikan nafsunya ketika dia marah. (HR. Ahmad)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Haritsah bin Qudamah as-Sa’di
bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, ajarilah aku sebuah ungkapan bermanfaat bagiku, dan singkatkanlah
ungkapan itu supaya aku dapat memeliharanya”.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Kamu jangan marah”. Kemudian Haritsah
mengajukan pertanyaan lagi kepada beliau beberapa kali dan dijawab dengan
jawaban yang sama pula, yaitu,” Janganlah kamu marah”.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Athiyah bin Sa’ad as-Sa’di, dia
pernah bersama Nabi, dia berkata bahwa: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya kemarahan
itu dari setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api
itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Jadi, jika salah seorang di antara kamu
marah, maka berwudhulah”. Demikian pula keterangan yang diriwayatkan oleh
Abu Daud.
Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a sehubungan dengan
firman Allah “ Dan orang-orang yang menahan marah”. Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ Barangsiapa
yang menahan marah, sedang dia kuasa menumpahkannya, maka Allah akan memenuhi
dirinya dengan keselamatan dan keimanan”.
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “ Tiada penahanan seorang hamba yang lebih utama pahalanya selain
penahanan atas kemarahan. Dia menahannya karena mencari keridhaan Allah”.
Firman Allah Ta’ala “Yang memaafkan manusia”, yakni mereka
memaafkan orang yang menzaliminya sehingga di dalam dirinya tiada niatnya untuk
membalas dendam pada seorangpun. Ini merupakan perilaku yang paling utama. Oleh
karena itu, Allah Ta’ala berfirman, “ Allah mencintai orang-orang yang berbuat
kebaikan”. Ini merupakan salah satu maqam ihsan. Dalam sebuah hadits
dikatakan,” Ada tiga perkara yang tidak
merugi: harta tidak akan berkurang karena disedekahkan, semakin bertambah maaf
itu diberikan Allah, bertambah mulialah Dia, dan barangsiapa yang tawadhu karena
Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya”.
Al-Hakim meriwayatkan dalam mustadraknya, sebuah hadits dari
Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Ubadah bin Shamit, dari Ubai bin Ka’ab,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Barangsiapa yang berambisi untuk memiliki kepribadian yang mulia dan
derajat yang tinggi, maka hendaklah dia memaafkan orang yang menzaliminya,
memberi kepada orang yang tidak suka memberi kepadanya, dan menghubungkan tali
silaturrahmi kepada orang yang memutuskan hubungan dengannya”. Kemudian
Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih karena mengikuti syarat syaikhani,
meskipun keduanya tidak meriwayatkan hadits itu. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
Jilid 1, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)
(Pekanbaru, Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar