Niat merupakan kunci utama nilai sebuah ibadah disisi Allah
SWT. Oleh sebab itu, sepatutnyalah kita sungguh-sungguh memahami berbagai hal
yang berhubungan dengan niat itu. Untuk mempelajari tatacara berniat didalam
beribadah, perlu sekali kita mencari sumber rujukan yang kuat. Dengan cara ini, kita dapat terhindar dari
perbuatan sia-sia.
Sheihk Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, Mufti Besar Kerajaan
Saudi Arabia dalam bukunya “Haji, Umrah Dan Ziarah Menurut Kitab Dan Sunnah”,
memberikan penjelasan tentang niat ihram. Dikaitkan juga dengan niat ibadah
lainnya.
Menurut Bin Baz, seusai mandi dan membersihkan badan serta
mengenakan pakaian ihram, hendaknya ia berniat didalam hatinya memasuki jenis
ibadah yang dikehendaki, baik haji ataupun umrah. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Sesungguhnya perbuatan
itu terkait dengan niatnya. Dan, setiap orang akan mendapatkan apa yang
diniatkannya.
Disyari’atkan baginya untuk melafazhkan niatnya
(menyatakannya dengan lisan). Jika niatnya adalah umrah, hendaknya ia
mengucapkan :
Kusambut panggilan-Mu
untuk melakukan umrah.
Atau :
Ya Allah, kusambut panggilan-Mu
untuk melakukan umrah.
Jika niatnya adalah haji, hendaklah ia mengucapkan :
Kusambut panggilan-Mu
untuk melakukan haji.
Atau :
Ya Allah, kusambut
panggilan-Mu untuk melakukan haji.
Hal ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Utamanya niat itu dilafashkan setelah ia berada di atas
kendaraan yang ditumpanginya, baik itu onta maupun kuda, atau kendaraan
bermotor atau lainnya. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru menyatakan niatnya setelah beliau berada
diatas hewan tunggangan beliau, disaat hewan tunggangan beliau itu menghentakkan
kakinya beranjak dari miqat untuk membawa beliau. Ini adalah pendapat yang
terbenar dari sekian pendapat para ulama.
Melafashkan niat tidaklah disyari’atkan kecuali dalam ihram
saja, karena terdapat tuntunannya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun didalam shalat, thawaf dan ibadah lain, seyogianya niat tidak
dilafashkan. Tidak perlu mengucap:” Nawaitu an Ushallia...”(aku berniat
shalat)...), juga tidak perlu mengucap:” Nawaitu an Athufa...”(aku berniat
melakukan thawaf ini, itu). Bahkan, justeru melafashkan niat semacam itu adalah
bid’ah yang diada-adakan. Lebih buruk lagi dan amat berdosa, sekiranya niat itu
dilafashkan keras.
Seandainya melafashkan niat itu disyari’atkan, tentunya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu kepada umatnya
dengan perbuatan maupun perkataan beliau, dan tentunya para ulama salaf lebih
dulu mengamalkannya.
Dengan tidak terbuktinya hal itu dinukil dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun dari sahabat beliau, berarti dapat
diketahui bahwa itu adalah bid’ah. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda :
Seburuk-buruk perkara
adalah perkara-perkara yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.
(Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab Shahih-nya)
(Sumber: Haji, Umrah Dan Ziarah Menurut Kitab Dan
Sunnah, Sheihk Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, Mufti Besar Kerajaan Saudi
Arabia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar