Kematian itu pasti datangnya sebagai ketetapan dari Allah
SWT. Tidak ada yang dapat menghindarkan diri dari kematian. Yang perlu kita
lakukan adalah mensikapi kematian dengan cara-cara islami dan menjauhkan diri
dari sikap-sikap jahiliah. Tidaklah layak kita melakukan perbuatan yang
diharamkan.
M. Nashiruddin Al-Albani dalam bukunya Tuntunan Lengkap
Mengurus Jenazah, telah memberikan panduan bagi kita dalam bersikap ketika
berbelasungkawa. Menurut Al-Albani, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengharamkan banyak sikap dalam menghadapi kematian atau dalam
berbelasungkawa, namun masih saja sering dilakukan oleh kaum muslimin. Hal ini
perlu diketahui untuk dihindari.
Meratapi mayat. Dalam hal ini banyak sekali hadits Rasulullah
Shallalahu ‘alaihi wa sallam yang sahih yang menjelaskannya:
Empat macam kebiasaan
jahiliah yang masih dilakukan umatku, dan tidak juga ditinggalkannya, yaitu
berbangga-bangga dengan keturunan, mengingkari keturunan, minta turun hujan
dengan ramalan bintang, dan meratap. Lebih jauh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:”Dan bagi perempuan yang
meratap, apabila tidak bertobat sebelum wafat maka dihari kiamat kelak ia akan
memakai gamis dari pelangkin dan baju besi”. (HR. Imam Muslim, al-Baihaqi,
dan Abu Malik al-Asy’ari)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Dua hal yang ada pada manusia, yang keduanya
menyebabkan mereka kafir, mengingkari keturunan dan meratapi kematian”.
(HR. Muslim, al-Baihaqi dan lainnya dari Abu Hurairah r.a)
Ketika Ibrahim putra Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, berteriaklah Usamah bin Zaid, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menegurnya,”Yang demikian bukan
dari ajaranku. Tidaklah orang yang berteriak dibenarkan dalam agama. Hati ini
memang sedih dan kedua mata menangis, namun tak menjadikan Allah murka”. (HR.
Ibnu Hibban, al-Hakim dari Abu Hurairah r.a))
Ummu Athiyah r.a berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membai’at kami (kaum wanita) untuk tidak meratap. Namun diantara kami
(yang dibai’at) tidak ada yang menepati janjinya kecuali lima orang, yaitu Ummu
Sulaim, Ummu Alaa’, putri Abi Sabrah, isteri Mu’adz atau putri Abi Sabrah dan
isteri Mu’adz r.a”. (HR. Bukhari, Muslim dan al-Baihaqi)
Memukul-mukul pipi dan merobek-robek baju. Hal ini berdasarkan hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”
Bukanlah dari golongan kami siapa-siapa yang memukul-mukul pipi (ketika ditimpa
kematian), orang-orang yang suka merobek-robek pakaiannya, dan yang mengeluh
serta meratapi seperti kebiasaan jahiliah”. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnul
Jarud, al-Baihaqi dan lainnya dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a)
Mencukur rambut kepala. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Burdah
bin Abi Musa. Ia berkata, Abu Musa al-Asy’ari r.a jatuh sakit hingga tak
sadarkan diri sementara kepalanya berada dipangkuan isterinya. Lalu
berteriaklah isterinya hingga tak dapat mengendalikan dirinya. Ketika Abu Musa
siuman, ia berkata sungguh aku terbebas dari orang yang rasulullah telah
terbebas darinya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terbebas dari kebiasaan wanita yang berteriak-teriak ketika tertimpa musibah
dan wanita yang biasa mencukur rambutnya serta merobek-robek bajunya. (HR. Imam
Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan al-Baihaqi)
Menguraikan rambut. Hadits ini dari seorang wanita yang
pernah ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia
berkata, apa yang dibai’at kan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke
pada kami dalam berbuat kebaikan diantaranya agar kami tidak melanggar larangan
beliau dan tidak menato wajah, tidak menjerit-jerit dengan berucap
celaka...celaka serta tidak pula merobek-robek baju dan tidak menggunduli
rambut. (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Membiarkan rambut lebat (brewok), hal ini biasa dilakukan sebagian
laki-laki selama masa berkabung dan sesudah itu barulah ia kembali mencukurnya.
Boleh jadi dalam hal ini ada kesamaan dengan kebiasaan yang
dilakukan wanita di zaman jahiliah berupa menguraikan rambutnya pada masa
berkabung. Padahal amalan seperti ini merupakan perbuatan bid’ah. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:” Setiap yang diada-adakan adalah
sesat dan setiap yang sesat neraka kesudahannya”. (HR. An-Nasa’i dan
al-Baihaqi)
Menyiarkan berita kematian melalui pengeras
suara dan semisalnya. Sebab,
cara menyiarkan seperti ini termasuk menyebar-luaskan berita. Hudzaifah Ibnul
Yaman r.a berkata, “ Apabila mengetahui ada berita kematian ia mengatakan,
janganlah berazan (mengumandangkan) berita itu karena sesungguhnya aku khawatir
yang demikian termasuk dari menyerukan berita kematian. Aku mendengar beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya”. (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ahmad dan al-Baihaqi)
Sementara itu, makna an-na’yu
secara bahasa bermakna penyiaran berita kematian. Dengan demikian berarti
mencakup pemberitaan kematian secara umum.
Meskipun begitu, telah terbukti kesahihan beberapa hadits yang membolehkan salah satu
cara pemberitaan. Dalam hal ini para
ulama telah membatasi kemutlakan larangan tersebut dengan hadits itu, seperti
pendapat berikut,” Sesungguhnya yang dimaksud dengan an-na’yu adalah penyebaran
berita yang menyerupai kebiasaan yang pernah ada di zaman jahiliah, yakni
berupa teriakan didepan pintu rumah penduduk dan di pasar-pasar, seperti akan
dijelaskan nanti.
Pekanbaru, Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar