Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, Agustus 01, 2013

Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Beribadah


Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz Dzaariyaat 51: 56)
Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. (HR. Bukhari-Muslim)
Hakikat ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala macam bentuk perhambaan, seperti do’a, shalat, shaum, qurban, nadzar, serta berbagai macam ibadah lainnya yang dilakukan dengan penuh ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, disertai rasa cinta kepada-Nya dan rasa hina dalam naungan keagungan-Nya. ( Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baaz, Aqidah Shohihah versus Aqidah Bathilah)

Dalam melaksanakan ibadah, tidaklah boleh berbuat semaunya saja. Ada aturan/ketentuan yang perlu ditaati. Ada syarat yang harus dipenuhi. Menurut Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dalam bukunya Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Rasul). Mutaba’ah tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syariat dalam enam perkara:
Pertama, sebab:
Jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak akan diterima(ditolak).
Contoh: Ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam 27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ( dinaikkan keatas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut maka menjadi bid’ah, karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan oleh syariat. Syariat ini-yaitu ibadah harus sesuai dengan sebab yang syar’i- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua, jenis:
Yaitu ibadah itu harus sesuai dengan jenis yang telah disyariatkan. Jika tidak, maka ibadah  itu tidak akan diterima.
Contoh: Seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban. Maka kurbannya tidak sah, sebab yang boelh dijadikan kurban adalah onta, sapi dan kambing. Dan ia menyalahi ketentuan syariat dalam jenisnya.
Ketiga, kadar (bilangan):
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at pada shalat tertentu, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan raka’atnya. Jadi, apabila ada orang shalat Dzuhur lima rakaat umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat, kaifiyah (cara):
Seandainya ada yang berwudlu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudlunya, kerana tidak sesuai dengan cara yang telah ditentukan oleh syariat.
Kelima, waktu:
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang yang bertaqorrub (merendahkan diri) kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal ini adalah bid’ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqorrub kepada Allah kecuali untuk kurban, denda haji dan aqiqah. Adapun menyembelih (binatang) pada bulan Ramadhan dengan keyakinan mendapatkan pahala atas sembelihannya-sebagaimana dalam Idul Adha-maka termasuk bid’ah. Tapi kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya maka boleh-boleh saja.
Keenam, tempat:
Andaikata ada orang yang beri’tikaf ditempat selain masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab, tempat i’tikaf hanyalah masjid. Begitu pula andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam musholla rumahnya, maka tidak sah i’tikafnya. Karena, tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syariat.
Contoh lainnya: Seseorang yang melakukan thawaf diluar masjid al-Haram dengan alasan karena didalam masjid sudah penuh, maka thawafnya tidak sah. Karena, tempat melakukan thawaf adalah Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah SWT:
Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf.(QS. Al-Hajj 26)
Demikian penjelasan Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dalam buku Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah. Buku ini dicetak dan di edarkan  oleh Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan. Kerajaan Saudi Arabia.
Mudah-mudahan, dengan memahami syarat yang harus dpenuhi dalam ibadah, kita semakin berusaha mempelajari tatacara beribadah sesuai ketentuan syariat. Sudah sepatutnya dalam beribadah, kita mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Wallahu a’lam)
(Pekanbaru, Juli 2013)

Tidak ada komentar: