Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz
Dzaariyaat 51: 56)
Hak Allah atas
hamba-hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.
(HR. Bukhari-Muslim)
Hakikat ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala macam
bentuk perhambaan, seperti do’a, shalat, shaum, qurban, nadzar, serta berbagai
macam ibadah lainnya yang dilakukan dengan penuh ketundukan dan kepatuhan kepada
Allah, disertai rasa cinta kepada-Nya dan rasa hina dalam naungan keagungan-Nya.
( Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baaz, Aqidah Shohihah versus Aqidah Bathilah)
Dalam melaksanakan ibadah, tidaklah boleh berbuat semaunya
saja. Ada aturan/ketentuan yang perlu ditaati. Ada syarat yang harus dipenuhi.
Menurut Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dalam bukunya Kesempurnaan Islam
dan Bahaya Bid’ah, ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila
memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan
mutaba’ah (mengikuti tuntunan Rasul). Mutaba’ah tidak akan tercapai kecuali
apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syariat dalam enam perkara:
Pertama, sebab:
Jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab
yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak akan
diterima(ditolak).
Contoh: Ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam
27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ( dinaikkan keatas langit). Shalat tahajjud
adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut maka menjadi
bid’ah, karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan oleh
syariat. Syariat ini-yaitu ibadah harus sesuai dengan sebab yang syar’i- adalah
penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang
dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua, jenis:
Yaitu ibadah itu harus sesuai dengan jenis yang telah
disyariatkan. Jika tidak, maka ibadah
itu tidak akan diterima.
Contoh: Seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban. Maka
kurbannya tidak sah, sebab yang boelh dijadikan kurban adalah onta, sapi dan
kambing. Dan ia menyalahi ketentuan syariat dalam jenisnya.
Ketiga, kadar (bilangan):
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at pada shalat
tertentu, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah
bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam
jumlah bilangan raka’atnya. Jadi, apabila ada orang shalat Dzuhur lima rakaat
umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat, kaifiyah (cara):
Seandainya ada yang berwudlu dengan cara membasuh tangan,
lalu muka, maka tidak sah wudlunya, kerana tidak sesuai dengan cara yang telah
ditentukan oleh syariat.
Kelima, waktu:
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari
pertama Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah, karena waktu melaksanakannya
tidak menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang yang bertaqorrub
(merendahkan diri) kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing.
Amal ini adalah bid’ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk
bertaqorrub kepada Allah kecuali untuk kurban, denda haji dan aqiqah. Adapun
menyembelih (binatang) pada bulan Ramadhan dengan keyakinan mendapatkan pahala
atas sembelihannya-sebagaimana dalam Idul Adha-maka termasuk bid’ah. Tapi kalau
menyembelih hanya untuk memakan dagingnya maka boleh-boleh saja.
Keenam, tempat:
Andaikata ada orang yang beri’tikaf ditempat selain masjid,
maka tidak sah i’tikafnya. Sebab, tempat i’tikaf hanyalah masjid. Begitu pula
andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam musholla rumahnya, maka
tidak sah i’tikafnya. Karena, tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan
syariat.
Contoh lainnya: Seseorang yang melakukan thawaf diluar masjid
al-Haram dengan alasan karena didalam masjid sudah penuh, maka thawafnya tidak
sah. Karena, tempat melakukan thawaf adalah Baitullah tersebut, sebagaimana
firman Allah SWT:
Dan sucikanlah rumah-Ku
ini bagi orang-orang yang thawaf.(QS. Al-Hajj 26)
Demikian penjelasan Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin
dalam buku Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah. Buku ini dicetak dan di
edarkan oleh Departemen Agama, Wakaf,
Dakwah dan Bimbingan. Kerajaan Saudi Arabia.
Mudah-mudahan, dengan memahami syarat yang harus dpenuhi
dalam ibadah, kita semakin berusaha mempelajari tatacara beribadah sesuai
ketentuan syariat. Sudah sepatutnya dalam beribadah, kita mengikuti tuntunan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Wallahu a’lam)
(Pekanbaru, Juli 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar