Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, September 12, 2013

Tata Cara Menunaikan Kewajiban Dam

Calon jemaah haji memang sepatutnya banyak-banyak mempelajari dan memahami berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji. Dengan mempelajari dan memahami hal itu, akan dapat melaksanakan ibadah haji dengan sebaik-baiknya tanpa mengalami banyak kesulitan. Salah satu ketentuan yang patut dipahami oleh jemaah haji adalah mengenai kewajiban dam.

Ketika menunaikan ibadah haji, saya menunaikan kewajiban dam setelah melontar jumrah hari pertama di Mina. Setelah melontar jumrah, kami menuju ketempat pemotongan hewan. Untuk menuju kesana agak jauh tetapi tidak sulit menemukannya. Sebaiknya pergi dengan beberapa orang. Ada rambu-rambu jalan penunjuk arah. Sebelum memasuki tempat penyembelihan, banyak loket (seperti loket penjualan tiket). Setelah membayar 395 real, kami diberi selembar kertas (tiket). Kemudian tiket ini dibawa kedalam tempat pemotongan. Dengan menunjukkan tiket ke petugas, kita dipersilahkan memilih sendiri domba. Domba ini kita bawa ke petugas pemotong yang akan memotong hewan tersebut dihadapan kita. Boleh juga jika ingin ikut memegang hewan tersebut. Didalam kandang doma, juga ada petugas yang bersedia membantu memilihkan dan mengangkat domba ke tempat pemotongan. Mereka meminta imbalan sekedarnya.
Ketentuan-ketentuan mengenai dam, dijelaskan oleh Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, didalam buku “Haji, Umrah Dan Ziarah Menurut Kitab Dan Sunnah”.
Menurut Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, orang yang haji Tamattu’ maupun berhaji Qiran, sedang ia bukan penduduk tanah suci Mekah, ia wajib menyembelih dam, yaitu satu kambing atau sepertujuh onta atau sepertujuh sapi. Dam itu wajib didapatkan dari harta yang halal dan hasil usaha yang baik (halal). Karena Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima (pemberian harta) kecuali yang baik (dari harta yang halal).
Seyogianya seorang muslim (lebih-lebih yang sedang berhaji), mampu menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain. Baik yang diminta itu binatang hadyu, uang untuk membelinya atau lainnya, baik yang diminta itu raja atau lainnya. Perbuatan ini seyogianya tidak dilakukan, manaka kala ia telah diberi kemudahan rizki yang cukup oleh Allah untuk membeli binatang hadyu dan mencukupi untuk tidak sampai memerlukan apa yang ada pada tangan orang lain. Karena, cukup banyak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan tercelanya dan ketakterpujiannya meminta-minta dan memaparkan keterpujian orang yang tidak mau meminta-minta.
Jika orang yang berhaji Tamattu’ maupun yang berhaji Qiran itu tidak mampu membeli binatang hadyu yang wajib disembelihnya, ia wajib berpuasa tiga hari pada masa melakukan haji dan tujuh hari lagi jika ia sudah kembali ke keluarganya. Untuk berpuasa yang tiga hari itu, ia boleh memilih melakukannya sebelum hari nahr, ataupun melakukannya pada tiga hari tasyriq.
Allah berfirman:
Barangsiapa yang berumrah (pada bulan haji) dan dilanjutkan hajinya, maka ia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapatnya. Tetapi jika ia tidak mendapatkan (binatang hadyu atau uang untuk membelinya), maka wajib ia berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban menyembelih hadyu atau gantinya itu) bagi orang-orang yang keluarganya bukan penduduk (sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk kawasan Tanah Suci Mekah). (al-Baqarah 196)
Didalam shahih Bukhari:
Dari Aisyah dan Ibnu Umar, mereka berdua berkata: “Tidak ada rukhshah (tidak dibolehkan) pada hari-hari tasyriq untuk berpuasa, kecuali bagi orang yang tidak dapatkan hadyu (atau uang untuk membeli binatang hadyu).
Yang afdhal, hendaknya puasa tiga hari itu dilakukan sebelum hari Arafah, agar pada hari Arafah ia dalam keadaan tidak berpuasa. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwuquf pada hari Arafah (di Arafah) dalam keadaan tidak berpuasa. Dan beliau melarang berpuasa di hari itu, lebih menambah semangat dalam berdzikir dan berdo’a.
Berpuasa pada tiga hari itu boleh dilakukan secara beruntun atau terpisah-pisah. Demikian halnya berpuasa yang tujuh hari, tidak wajib dilakukan secara beruntun, tetapi boleh dilakukan secara beruntun sekaligus dan boleh juga secara terpisah-pisah. Karena Allah tidak mensyaratkan untuk melakukannya secara beruntun. Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak mensyaratkan demikian.
Yang afdhal, berpuasa tujuh hari ini, ditangguhkan sampai ia kembali kekeluarganya (di kampungnya), berdasarkan firman Allah “dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. (al-Baqarah 196)
Bagi orang yang tidak mampu membeli hewan hadyu, berpuasa adalah lebih utama daripada meminta-minta uang, kepada raja atau yang lain untuk membeli binatang hadyu yang akan disembelih untuk hajinya tersebut.
Orang yang diberi hewan hadyu, atau uang senilai itu, ataupun lainnya, dengan tanpa meminta dan tanpa terdetik di hatinya ingin diberi, hal itu tidaklah apa-apa, sekalipun ia adalah orang yang melakukan haji untuk orang lain dan tidak ditentukan persyaratan oleh orang yang menyuruhnya itu harus membeli hewan hadyu dengan uang yang telah dibayarkan kepadanya.
Adapun bentuk lain dari “meminta-minta” yang dilakukan sebagian orang adalah dengan mengajukan permohonan kepada pemerintah atau lembaga-lembaga tertentu untuk meminta bantuan dana guna membeli hewan hadyu atas nama sejumlah orang yang didaftarnya. Padahal daftar nama yang disebutnya itu adalah “nama-nama fiktif”, perbuatan seperti itu tidaklah diragukan keharamannya, karena ini tergolong mencari makan dengan cara berdusta. Semoga Allah menyelamatkan kita dan umat Islam dari tindak laku semacam ini.(Sheik Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Haji, Umrah Dan Ziarah Menurut Kitab Dan Sunnah)
Pekanbaru, Agustus 2013

Tidak ada komentar: