Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Minggu, Oktober 13, 2013

Upaya Memelihara Al-Qur'an Di Masa Nabi Muhammad SAW


Upaya sungguh-sungguh untuk memelihara Al-Qur’an sudah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Qur’anul Karim dijaga dan dipelihara baik-baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjalani suatu cara yang amat praktis  untuk memelihara dan menyiarkan Al-Qur’an sesuai dengan keadaan bangsa Arab diwaktu itu.
Upaya untuk memelihara Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa sallam itu, dapat dilihat didalam Al-Qur’an dan Terjemahnya, Wakaf Dari Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud. Dijelaskan, bahwa pada permulaan Islam, bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit diantara mereka yang pandai menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas sebagai kertas yang dikenal sekarang. Perkataan “al waraq” (daun) yang lazim pula dipakai dengan arti “kertas” dimasa itu, hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja.

Adapun kata “al qirthas” yang daripadanya terambil kata-kata Indonesia “kertas” dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu kulit binatang, batu yang tipis, dan licin, pelepah tamar (korma) tulang binatang dan lain sebagainya.
Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam barulah mereka mengenal kertas. Orang Persia menamai kertas itu “kaqhid”, maka dipakailah kata-kata kaqhid ini untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu.
Adapun sebelum masa Nabi ataupun dimasa Nabi, kata-kata “al-kaqhid” tidak ada dalam pemakaian bahasa Arab, maupun dalam hadits-hadits Nabi. Kemudian kata-kata al-kaqhid  itupun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang dinamakan kaqhid dalam bahasa Persia itu.
Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka.  Kata-kata “kitab” dimasa itu hanyalah berarti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya yang telah bertulis, atau berarti surat, seperti kata “kitab” dalam ayat 28, surat (27) An Naml ...
“Pergilah dengan surat saya ini, maka jatuhkanlah dia kepada mereka...”
Begitu juga “kutub” (jama’ kitab) yang dikirimkan oleh Nabi kepada raja-raja dimasanya, untuk menyeru mereka kepada Islam.
Karena mereka belum mengenal kitab atau buku sebagai yang dikenal sekarang, sebab itu diwaktu Al-Qur’anul Karim itu dibukukan dimasa Khalifah Usman bin ‘affan, mereka tidak tahu dengan apa Al-Qur’an yang telah dibukukan itu akan dinamai. Bermacam-macamlah pendapat sahabat tentang nama yang harus diberikan. Akhirnya mereka sepakat menamainya dengan “Al-Mushhaf” (ism maf’ul dari ashhafa, dan ashafa artinya mengumpulkan (shuhuf), jamak dari shahifah, lembaran-lembaran yang telah bertulis.
Kendatipun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan sya’ir-sya’ir dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, anzab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi diantara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata.
Demikianlah keadaan bangsa Arab diwaktu kedatangan agama Islam itu. Maka dijalankanlah oleh Nabi sautu cara yang ‘amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al-Qur’anul Karim dan memeliharanya.
Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu, Nabi menyuruh menghafalnya dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa saja yang bisa disusun dalam sesuatu surat. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al-Qur’an sajalah yang boleh dituliskan, selain dari Al-Qur’an, hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi, dilarang menuliskannya. Larangan ini dengan maksud supaya Al-Qur’anul Karim itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Nabi menganjurkan supaya Al-Qur’an itu dihafal, selalu dibaca dan diwajibkannya membacanya dalam shalat. Dengan jalan demikian, banyaklah orang yang hafal Al-Qur’an. Surat yang satu macam dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang hafal seluruh Al-Qur’an. Dalam pada itu, tidak ada satu ayatpun  yang tak dituliskan.
Kepandaiman menulis dan membaca itu amat dihargai dan digembirakan oleh Nabi. Beliau berkata:
“Diakhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada’ (orang yang matu syahid).”
Pada peperangan Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh Nabi, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis baca, masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim menulis dan membaca sebagai ganti tebusan.
Di dalam Al-Qur’an pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Firman Allah:
“ Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan”. (Surat (68) AlQalam ayat 1)
“Bacalah, dan Tuhan mu amat mulia, Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Surat (96) Al ‘Alaq ayat 3,4,5)
Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca, dan bertambah banyaklah mereka yang pandai menulis dan membaca itu, dan banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menulis Al-Qur’an untuk beliau. Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah ‘Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Ubay bin Ka’ab Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah. Yang terbanyak menuliskan ialah Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah.
Dengan demikian, terdapatlah dimasa Nabi tiga unsur yang tolong menolong memelihara Al-Qur’an yang telah diturunkan itu.
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.
2. Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi.
3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu, oleh Jibril dilakukan ulangan (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Nabi disuruh mengulang memperdengarkan Al-qur’an yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan ini diadakan oleh Jibril dua kali.
Nabi sendiri pun sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh beliau membaca Al-Qur’an itu dimukanya, untuk menetapkan  atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an itu telah sempurna diturunkan dan telah dhafal oleh ribuan manusia dan telah dituliskan  semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dalam sesuatu surat telah disusun menurut tertib urut yang ditunjukkan sendiri oleh Nabi.
Mereka telah mendengar Al-Qur’an itu dari mulut Nabi berkali-kali, dalam shalat, dalam pidato-pidato beliau, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya, Al-Qur’anul Karim adalah dijaga dan terpelihara baik-baik dan Nabi telah menjalani suatu cara yang amat praktis  untuk memelihara dan menyiarkan Al-Qur’an sesuai dengan keadaan bangsa Arab diwaktu itu.
Satu hal yang menarik perhatian, ialah Nabi baru wafat sebagai disebutkan diatas, ialah dikala Al-Qur’an itu telah cukup diturunkan dan Al Qur’an itu sempurna diturunkan  ialah diwaktu Nabi telah mendekati masanya untuk kembali kehadirat Allah Yang maha Kuasa. Hal ini bukanlah suatu kebetulan saja. Tetapi telah diatur oleh Yang Maha Esa.(Al-Qur’an dan Terjemahnya, Wakaf Dari Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud)
Bandung, Oktober 2013

Tidak ada komentar: