Ketika Siti Hajar dan anaknya yang masih bayi ditinggalkan
begitu saja oleh suaminya yaitu Nabi Ibrahim as di sebuah lembah gersang
bernama Mekkah, ia sempat bertanya:” Wahai Ibrahim, mengapakah engkau tinggalkan
kami dilembah yang sunyi ini? Sang suami hanya terdiam dan terus melangkah
menjauh.
Siti Hajar kembali mengajukan pertanyaan yang sama. Nabi
Ibrahim tetap membisu. Sampai kemudian Siti Hajar bertanya:” Apakah ini
perintah Allah?” Nabi Ibrahim akhirnya menjawab:” Ya, ini adalah perintah
Allah”.
Jawaban Nabi Ibrahim seketika itu juga membuat hati isterinya
tenang dan tenteram. Dengan penuh yakin dan mantap ia berkata :” Wahai Ibrahim,
jika ini adalah perintah Allah, maka tiada jalan lain selain mematuhinya. Allah
tidak akan menyia-nyiakan kami. Dia lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong”.
Siti Hajar sangat yakin kepada Allah. Apa yang
dikehendaki-Nya pastilah kebaikan. Mustahil Allah berbuat zalim terhadap
makhluk-Nya. Sehingga ia berpasrah diri kepada-Nya. Menerima perintah-Nya.
Namun, apakah kepasrahannya membuat ia berdiam diri? Tidak.
Untuk mempertahankan diri dan melindungi bayinya, Siti Hajar
mengerahkan segenap tenaga mencari air. Ia berlari-lari, berpeluh-peluh
mencarinya. Dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa. Kemudian kembali lagi, kemudian
berangkat lagi. Begitu seterusnya hingga tujuh kali. Hingga tenaganya
benar-benar terkuras. Dan, pencariannya membuahkan hasil. Sebuah mata air
jernih dan segar memancar tidak jauh dari kaki mungil Ismail.
Kita bisa bertanya, jika Siti Hajar yakin Allah akan
menolongnya, mengapa ia harus bersusah payah? Lalu, apakah ketika berlari-lari
Siti Hajar tahu dimana sumber air itu?
Pembaca budiman, sungguh Siti Hajar tidak pernah tahu
dimanakah sumber air itu sebelum kemudian sumber air itu muncul. Keyakinannya
akan pertolongan Allah tidak lantas membuatnya berpangku tangan, melainkan ia
lakukan ikhtiar semaksimal mungkin karena itulah yang bisa dilakukan manusia.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :” Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. Al Insyirah 94:
5-6)
Tidak semata-mata Allah berikan kesulitan kepada Siti Hajar,
melainkan Dia lengkapi kesulitan itu dengan banyak kemudahan. Kemudahan yang
diperoleh dengan ikhtiar maksimal. Perhatikanlah, kemudahan dan kebaikan yang
diperoleh pengalaman Siti Hajar dari
peristiwa itu. Sumber air Zam-Zam yang terus mengalir hingga saat ini, syari’at
Sya’i dalam ibadah haji yang terus dilakukan hingga saat ini, dan banyak
kebaikan-kebaikan lainnya.
Kesulitan luar biasa yang dihadapi Siti Hajar telah
mengantarkannya kepada ridha Allah SWT. Allah membalasnya dengan berbagai macam
kemudahan dan kebaikan yang dirasakan hingga saat ini dan – insyaallah – hingga
akhir zaman.
Siti Hajar telah mengajarkan sikap tawakal kepada kita.
Ditunjukkan dengan pernyataan keyakinannya
kepada Allah SWT bahwa Dia pasti menolong dirinya dan anaknya. Keyakinan
itu disusul dengan ikhtiarnya yang semaksimal mungkin.
Dalam haditsnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:” Sekiranya kalian benar- benar
bertawakal kepada Allah SWT, dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh
kalian akan diberi rezeki (oleh Allah), sebagaimana seekor burung diberi
rezeki; ia pergi dipagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam
keadaan kenyang”. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibn Majah)
Secara bahasa, tawakal berasal dari kata “tawakala” yang
berarti menyerahkan atau mewakilkan. Seseorang yang bertawakal adalah dia yang
sejak awal, sebelum memulai aktivitas, telah menyerahkan dan mempercayakan
urusannya kepada Allah SWT yang disusul kemudian dengan ikhtiar semaksimal dan
sebaik mungkin.
Jika kita menghayati hadits diatas dan menghubungkannya
dengan kisah Siti Hajar, maka tawakal adalah berpasrah diri kepada Allah
tentang segala urusan kita dengan cara mengusahakannya sebaik mungkin sesuai
dengan petunjuk yang Allah berikan melalui Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Jika
sudah demikian, maka sesuai janjinya, Allah akan mempertemukan kita dengan
takdir terbaik menurut-Nya. Dan Allah mustahil mengingkari janji-Nya.
Allah SWT berfirman:” Barangsiapa
yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)
nya”. (QS. Ath Thalaq 65: 3)
(Sumber: Bulletin Islamic Centre, Media Dakwah
& Informasi Privinsi Jawa Barat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar