Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, November 28, 2013

Pengertian Tawakal (Pengajaran Dari Siti Hajar)


Ketika Siti Hajar dan anaknya yang masih bayi ditinggalkan begitu saja oleh suaminya yaitu Nabi Ibrahim as di sebuah lembah gersang bernama Mekkah, ia sempat bertanya:” Wahai Ibrahim, mengapakah engkau tinggalkan kami dilembah yang sunyi ini? Sang suami hanya terdiam dan terus melangkah menjauh.
Siti Hajar kembali mengajukan pertanyaan yang sama. Nabi Ibrahim tetap membisu. Sampai kemudian Siti Hajar bertanya:” Apakah ini perintah Allah?” Nabi Ibrahim akhirnya menjawab:” Ya, ini adalah perintah Allah”.
Jawaban Nabi Ibrahim seketika itu juga membuat hati isterinya tenang dan tenteram. Dengan penuh yakin dan mantap ia berkata :” Wahai Ibrahim, jika ini adalah perintah Allah, maka tiada jalan lain selain mematuhinya. Allah tidak akan menyia-nyiakan kami. Dia lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”.

Siti Hajar sangat yakin kepada Allah. Apa yang dikehendaki-Nya pastilah kebaikan. Mustahil Allah berbuat zalim terhadap makhluk-Nya. Sehingga ia berpasrah diri kepada-Nya. Menerima perintah-Nya. Namun, apakah kepasrahannya membuat ia berdiam diri? Tidak.
Untuk mempertahankan diri dan melindungi bayinya, Siti Hajar mengerahkan segenap tenaga mencari air. Ia berlari-lari, berpeluh-peluh mencarinya. Dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa. Kemudian kembali lagi, kemudian berangkat lagi. Begitu seterusnya hingga tujuh kali. Hingga tenaganya benar-benar terkuras. Dan, pencariannya membuahkan hasil. Sebuah mata air jernih dan segar memancar tidak jauh dari kaki mungil Ismail.
Kita bisa bertanya, jika Siti Hajar yakin Allah akan menolongnya, mengapa ia harus bersusah payah? Lalu, apakah ketika berlari-lari Siti Hajar tahu dimana sumber air itu?
Pembaca budiman, sungguh Siti Hajar tidak pernah tahu dimanakah sumber air itu sebelum kemudian sumber air itu muncul. Keyakinannya akan pertolongan Allah tidak lantas membuatnya berpangku tangan, melainkan ia lakukan ikhtiar semaksimal mungkin karena itulah yang bisa dilakukan manusia.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :” Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. Al Insyirah 94: 5-6)
Tidak semata-mata Allah berikan kesulitan kepada Siti Hajar, melainkan Dia lengkapi kesulitan itu dengan banyak kemudahan. Kemudahan yang diperoleh dengan ikhtiar maksimal. Perhatikanlah, kemudahan dan kebaikan yang diperoleh  pengalaman Siti Hajar dari peristiwa itu. Sumber air Zam-Zam yang terus mengalir hingga saat ini, syari’at Sya’i dalam ibadah haji yang terus dilakukan hingga saat ini, dan banyak kebaikan-kebaikan lainnya.
Kesulitan luar biasa yang dihadapi Siti Hajar telah mengantarkannya kepada ridha Allah SWT. Allah membalasnya dengan berbagai macam kemudahan dan kebaikan yang dirasakan hingga saat ini dan – insyaallah – hingga akhir zaman.
Siti Hajar telah mengajarkan sikap tawakal kepada kita. Ditunjukkan dengan pernyataan keyakinannya  kepada Allah SWT bahwa Dia pasti menolong dirinya dan anaknya. Keyakinan itu disusul dengan ikhtiarnya yang semaksimal mungkin.
Dalam haditsnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Sekiranya kalian benar- benar bertawakal kepada Allah SWT, dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rezeki (oleh Allah), sebagaimana seekor burung diberi rezeki; ia pergi dipagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang”. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibn Majah)
Secara bahasa, tawakal berasal dari kata “tawakala” yang berarti menyerahkan atau mewakilkan. Seseorang yang bertawakal adalah dia yang sejak awal, sebelum memulai aktivitas, telah menyerahkan dan mempercayakan urusannya kepada Allah SWT yang disusul kemudian dengan ikhtiar semaksimal dan sebaik mungkin.
Jika kita menghayati hadits diatas dan menghubungkannya dengan kisah Siti Hajar, maka tawakal adalah berpasrah diri kepada Allah tentang segala urusan kita dengan cara mengusahakannya sebaik mungkin sesuai dengan petunjuk yang Allah berikan melalui Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Jika sudah demikian, maka sesuai janjinya, Allah akan mempertemukan kita dengan takdir terbaik menurut-Nya. Dan Allah mustahil mengingkari janji-Nya.
Allah SWT berfirman:” Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan) nya”. (QS. Ath Thalaq 65: 3)
(Sumber: Bulletin Islamic Centre, Media Dakwah & Informasi Privinsi Jawa Barat)

Tidak ada komentar: