Sekarang ini, banyak kemudahan diperoleh dalam melaksanakan
ibadah sesuai dengan syariat Islam. Tidak sulit menemukan masjid atau mushalla.
Al-Qur’an dan buku-buku agama juga banyak tersedia. Semua kemudahan ini,
sepatutnya disyukuri dan dijadikan sarana untuk terus beramal saleh dan
menambah ilmu.
Tidak demikian keadaan pengikut agama Islam pada awalnya
dulu. Kondisi mereka sangat berbeda. Para pengikut agama Islam pada masa itu
mengalami banyak tantangan. Bahkan, sebagian dari mereka mengalami siksaan
diluar batas perikemanusiaan.
Al Qur’an dan Terjemahnya, Wakaf Dari Pelayan Dua Tanah Suci,
Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud menceritakan, bahwa ketika orang-orang
Quraisy melihat gerakan Islam serta mendengar bahwa mereka dengan nenek moyang
mereka di bodoh-bodohkan dan berhala-berhala mereka dihina-hina, bangkitlah
kemarahan mereka dan mulailah mereka melancarkan permusuhan terhadap Nabi dan
pengikut-pengikutnya.
Banyaklah pengikut Nabi yang kena siksa diluar
peri-kemanusiaan, terutama sekali pengikut dari golongan rendah. Terhadap Nabi
sendiri, mereka tidak berani melakukan gangguan badan, karena beliau masih
dilindungi paman beliau Abu Thalib dan disamping itu beliau adalah keturunan
Bani Hasyim yang mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi dalam pandangan
masyarakat Quraisy sehingga beliau disegani.
Pada suatu ketika, datanglah beberapa pemuka-pemuka Quraisy
menemui Abu Thalib meminta agar dia menghentikan segala kegiatan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam menyiarkan Islam, dan jangan mengecam agama mereka, serta nenek moyang
mereka. Tuntutan mereka ini ditolak dengan baik oleh Abu Thalib. Setelah mereka
melihat perutusan itu tidak memberi hasil, datanglah mereka kembali kepada Abu
Thalib untuk menyatakan bahwa mereka tidak dapat membiarkan tingkah laku
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
itu dan mereka mengajukan pilihan kepadanya: menghentikan ucapan-ucapan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mereka sendiri yang melakukannya.
Setelah Abu Thalib mendengar ketegasan perutusan itu timbullah rasa kekuatiran
akan terjadinya perpecahan dan permusuhan kaumnya, namun tak sampai hati juga
ia melarang keponakannya itu. Akhirnya dipanggilnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata :” Wahai anakku! Sesungguhnya aku dijumpai oleh
pemimpin-pemimpin kaummu. Mereka mengatakan kepadaku supaya aku mencegah kamu
melakukan penyiaran Islam dan tidak mencela agama serta nenek moyang mereka,
maka jagalah diriku dan dirimu, janganlah aku dibebani dengan sesuatu perkara
diluar kesanggupanku”.
Mendengar ucapan itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengira pamannya tidak bersedia lagi melindunginya. Beliau berkata
dengan tegas:
Demi Allah wahai paman!
Sekiranya mereka letakkan matahari disebelah kananku, dan bulan disebelah
kiriku, dengan maksud agar aku tinggalkan pekerjaan ini (menyeru mereka kepada
agama Allah) sehingga ia tersiar (dimuka bumi ini) atau aku akan binasa
karenanya, namun aku tidak akan menghentikan pekerjaan ini.
Sesudah mengatakan kata-kata itu Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam berpaling seraya menangis. Ketika berpaling hendak pergi itu
Abu Thalib memanggil:” Menghadaplah kemari hai anakku!”. Nabi pun kembali
menghadap. Berkatalah pamannya:” Pergilah dan katakanlah apa yang kamu
kehendaki, demi Allah aku tidak akan menyerahkan kamu karena suatu alasanpun
selama-lamanya”.
Demikianlah tekad dan pembelaan Abu Thalib terhadap Nabi
seterusnya, walaupun pemuka-pemuka Quraisy berkali-kali membujuknya. Dalam pada
itu, beliau menginsyafi pula kekompakan orang-orang Quraisy menghadapi beliau.
Oleh karena itu beliau mengingatkan Bani hasyim dan Bani Muththalib agar tetap
memelihara semangat setia-keluarga, bahwa bilamana salah seorang dari mereka teraniaya,
maka seluruh keluarga harus bangkit serentak membelanya. Peringatan Abu Thalib
ini disambut mereka dengan sungguh-sungguh, baik yang sudah Islam maupun yang
masih kafir.(
Al Qur’an dan Terjemahnya, Wakaf Dari Pelayan Dua Tanah Suci, Abdullah bin Abdul
Aziz Ali Sa’ud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar