Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, Januari 16, 2014

Mensikapi Sengketa Kepemilikan Harta Secara Islami


Memiliki harta yang banyak didalam Islam tidaklah terlarang. Namun, didalam upaya untuk memperoleh harta itu diingatkan agar menempuh cara-cara yang halal. Persengketaan kepemilikan harta banyak terjadi. Bagi kita yang telah diberi Allah Ta’ala nikmat iman, hendaknya berpegang teguh kepada ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berusaha menghindarkan diri dari memperoleh harta dengan cara yang batil, patut kita lakukan. Jika sedang menghadapi persengketaan kepemilikan harta, cermati sungguh-sungguh ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah 2: 188)

Penjelasan mengenai ayat ini, dapat kita temukan didalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Ali bin Abi Thalhah bercerita dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menguasai harta kekayaan namun tidak memiliki bukti kepemilikannya. Maka, dia memanipulasi harta itu dan mengadukannya kepada hakim, sedang dia mengetahui bahwa harta itu bukan haknya dan dia pun mengetahui bahwa dirinya berdosa lantaran memakan barang haram. Sebagian ulama salaf mengatakan, janganlah Anda mengadukan persoalan sedang Anda mengetahui bahwa Anda itu zalim. Dalam shahihain dikatakan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ketahuilah, aku hanyalah manusia dan datang kepadaku pengaduan sengketa. Boleh jadi ada seseorang diantara kamu yang lebih unggul hujahnya sehingga aku memenangkannya dan mengalahkan yang lain. Barangsiapa yang ku menangkan perkaranya sedang ia mengambil hak seorang muslim, maka kemenangan itu berupa sebongkah api. Silakan mengambilnya atau meninggalkannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ayat dan hadits diatas menunjukkan bahwa ketetapan hakim tidak mengubah karakteristik perkara. Hakim tidak dapat menghalalkan perkara haram yang berkarakter haram dan dia tidak mengharamkan perkara halal yang berkarakter halal, karena dia hanya berpegang teguh kepada zahirnya saja. Jika sesuai, maka itulah yang dikehendaki, dan jika tidak sesuai, maka hakim tetap beroleh pahala dan bagi yang bermuslihat adalah dosanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,” Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil...sedang kamu mengetahui,” yakni mengetahui kebatilan perkara yang kamu sembunyikan didalam alasan-alasan yang kamu ajukan. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)
Pekanbaru, Januari 2014.

Tidak ada komentar: