Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, Maret 13, 2014

Larangan Wanita Bersafar Tanpa Mahram


Tersedianya fasilitas transportasi umum, memberi peluang kepada banyak orang untuk melakukan perjalanan. Diantara pengguna fasilitas umum tersebut, juga banyak kaum wanita. Bagi kaum muslimah yang bepergian, ada baiknya mencermati fenomena ini. Sebelum melakukan perjalanan, pahami terlebih dahulu kaidah-kaidah agama yang berhubungan dengan safar. Patut diyakini, bahwa dalil-dalil syar’i berupa larangan atau suruhan itu, mengandung kemaslahatan bagi ummat.
Sebuah buku kecil “Muslimah Bepergian, Tim Redaksi Media Zikir” memberikan panduan cukup lengkap dan bermanfaat. Saya kutipkan sebuah tulisan dari buku tersebut, yaitu “Safar Dengan Menggunakan Kendaraan Umum”. Agar mendapatkan pemahaman yang lengkap dan jelas, sebaiknya penjelasan ini dibaca selengkapnya.

Sesuai dengan berkembangnya zaman, hari ini sudah ada kendaraan yang mampu membawa banyak orang dari sebuah tempat ke tempat yang lain, baik pesawat, kereta api atau bis-bis umum. Oleh karena itu, khalwat dapat dihindari dan perjalanan bisa terjadwal dengan rapi. Sehingga menjadi sebuah pertanyaan, apakah hukum pun bisa berubah?
Memang dalam hal ini juga terjadi perselisihan antara ulama hari ini yang terbagi menjadi dua pendapat.
Pertama. Kebanyakan ulama tetap mengharamkan safar wanita muslimah tanpa mahram, apakah dengan menggunakan pesawat, keretaapi, bis umum atau lainnya. Hal itu dikarenakan mereka melihat keumuman dalil-dalil syar’i yang menjelaskan masalah ini. Diantara yang berpendapat demikian adalah Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Shalih Fauzan dan ulama lainnya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang seorang wanita berusia 40 tahun yang tinggal di Madinah tanpa mahram karena anaknya yang besar hidup bersama ayahnya di kota lain. Dia pernah pergi berhaji dengan menggunakan kendaraan umum yang memiliki tempat khusus bagi para wanita dan mengantarkannya sampai tempat tujuan. Dengan usia dan kondisi demikian, apakah dia berdosa dengan safarnya tersebut?
Maka Syaikh menjawab:” Bila kondisinya sebagaimana disebutkan tadi, maka safar baginya haram. Hendaknya wanita tersebut segera bertobat kepada Allah, menyesali perbuatannya dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Bukhari-Muslim,Janganlah seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya’. Dan Allah Ta’ala berfirman:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.(Al-Hasyr 59: 7). Wallahu muwafiq.
Shalih Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya tentang kebolehan seorang wanita bersafar tanpa mahram dengan menggunakan pesawat dan ada jaminan keamanan? Maka beliau menjawab:
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada diatas mimbar pada hari-hari haji, beliau bersabda:” Janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama mahramnya”. Maka seorang laki-laki berdiri dan berkata:’ Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku ingin keluar untuk kebutuhan haji, padahal saya harus pergi mengikuti peperangan ini dan itu”. Maka Nabi bersabda:Pergi dan berhajilah bersama istrimu”.
Kita lihat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki tersebut agar meninggalkan peperangan dan berhaji bersama istrinya. Nabi pun tidak bertanya :” Apakah istrimu bisa dijamin keamanan dirinya? Apakah bersamanya ada wanita-wanita lain? Apakah bersama tetangganya? Maka hadits ini menunjukkan pada larangan safar wanita tanpa mahram secara umum, sehingga masuk didalamnya safar dengan menggunakan pesawat.
Syaikh juga mengatakan:” Karenanya kita dapatkan hikmah besar dari Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas larangan safar wanita tanpa mahram dengan tanpa perincian dan tanpa penafsiran lain. Mungkin ada yang mengatakan,’ Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui tentang hal ghaib, tidak juga tahu tentang pesawat. Maka kita fahami bahwa sabdanya tersebut untuk safar wanita di atas unta bukan di atas pesawat, sehingga seorang wanita tidak boleh safar diatas unta kecuali bersama mahramnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu tentang pesawat yang mampu terbang dari Tha’if ke Riyadh hanya dalam waktu satu seperempat jam, sedangkan beliau saat itu menempuhnya dalam waktu satu bulan. Maka jawabannya, bila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu dengan hal ini, sesungguhnya Allah mengetahui. Maka Allah Ta’ala berfirman:
Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim).(An-Nahl 16: 89)
Demikian dengan jawaban Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta No.9950, ketika ditanya kebolehan seorang wanita safar tanpa mahram dengan menggunakan pesawat. Maka dijawab:” Seorang wanita tidak boleh safar kecuali bersama mahramnya atau suaminya, apakah perjalanan jauh atau dekat, sama saja”.
Kedua. Pendapat yang membolehkan safar wanita tanpa mahram bila kendaraan yang digunakan ada jaminan keamanan, atau bersama beberapa wanita yang bisa dipercaya. Diantara ulama yang membolehkan adalah beliau Syaikh Abdullah bin Jibran.
Ketika beliau ditanya tentang seorang wanita yang hanya diantar mahramnya sampai bandara lalu dijemput di bandara lain, beliau menjawab:” Tidak mengapa bila kondisi kesulitan bagi mahram, seperti suami atau orang tua. Yaitu bila wanita tersebut terpaksa harus safar sementara mahramnya ada kesulitan untuk menemaninya, maka tidak mengapa dalam hal ini dengan syarat mahram pertama mengantarkannya sampai bandara. Dia tidak melepaskannya hingga wanita tersebut masuk kedalam pesawat dan terbang menuju tempat yang dituju, lalu dipastikan bahwa mahramnya siap menjemput di bandara yang akan dituju, dan diberitahukan jam pemberangkatan serta nomor pesawat tersebut.
Hal demikian dibolehkan, karena tidak adanya khalwat, dan dia tidak bersafar sendirian. Juga waktu yang sebentar yaitu satu atau setengah jam saja, sehingga waktu seperti ini tidak disebut dengan safar”.
Dalam menanggapi perbedaan ini, DR. Riyadh bin Muhammad Al-Musaimin dalam ringkasan tulisannya, lebih memilih pendapat kebanyakan ulama, dikarenakan kuatnya dalil-dalil yang digunakan oleh pendapat pertama. Selain itu, safar menggunakan transportasi umum seperti pesawat tidak menjamin keamanan para wanita, terlebih pada zaman ini kerusakan moral terjadi dimana-mana.(Muslimah Bepergian, Tim Redaksi Media Zikir)
Pekanbaru, Maret 2014

Tidak ada komentar: