Dalam kehidupan ini, seringkali kita berada pada posisi
diperintah. Perintah itu, dapat datang dari penguasa, orang tua maupun suami.
Bagi pekerja, terkadang dihadapkan kepada perintah atasan yang bertentangan
dengan syariat. Disinilah arti pentingnya kita memahami makna ketaatan sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Ketegasan sikap dalam ketaatan, perlu kita
perlihatkan.
Dari Ali r.a, katanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:” Tidak ada ketaatan dalam berbuat maksiat, taat itu hanya
dalam berbuat kebaikan. (HR. Mutafaq Alaih)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy menjelaskan, hadis ini
merupakan batasan atas setiap orang yang harus ditaati, baik terhadap para
penguasa, orang tua, suami maupun lainnya, dimana syari’at (Allah SWT dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah menetapkan kewajiban mentaati
mereka itu.
Meskipun demikian, masing-masing mereka itu wajib ditaati
dalam batas-batas yang sesuai dengan kedudukannya secara patut. Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebanyakan perintahnya kepada
manusia kembali pada urf dan adat
kebiasaan seperti dalam kebaikan dan silaturrahmi, keadilan dan perbuatan
baik (ihsan) yang umum. Begitu pula
menaati orang yang wajib ditaati. Semuanya dibatasi dengan batasan tersebut.
Karenanya, apabila sebagian mereka menyuruh berbuat maksiat kepada Allah SWT
dengan melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan sesuatu kewajiban,
maka janganlah ditaati
Kita tidak boleh taat kepada makhluk dalam berbuat maksiat
kepada Allah SWT. Dengan itu, apabila salah seorang mereka menyuruh membunuh
orang-orang yang terpelihara darahnya, memukulnya atau mengambil hartanya atau
menyuruh meninggalkan haji yang wajib atau ibadah wajib lainnya atau memutus
hubungan silaturrahmi dengan orang yang harus dijalin hubungannya, maka jangan
diikuti dan jangan taat kepada mereka, melainkan kita harus mendahulukan taat
kepada Allah SWT daripada taat kepada mahkluknya.
Dari hadis ini dipahami bahwa apabila taat kepada mereka itu
berlawanan dengan perbuatan ibadah sunat, maka taat kepada mereka itu harus
didahulukan karena meninggalkan perbuatan yang sunat bukanlah maksiat. Apabila
seorang suami melarang istrinya melakukan puasa sunat atau haji yang sunat,
atau pemerintah menyuruh melakukan tugas politik, maka yang harus didahulukan
adalah melakukan yang wajib (yakni dalam hal ini, menaati perintah suami dan
penguasa).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:”Sesungguhnya taat (patuh) itu hanya dalam
kebaikan”. Sebagaimana ketaatan
itu mencakup hal-hal yang kami sebutkan, ia juga mencakup pembatasan atas
kemampuan dan kekuatan, sebagaimana kewajiban-kewajiban lain berdasar hukum
asal syariat. Artinya, taat itupun harus sesuai pula dengan kemampuan dan
kekuatan yang dimiliki, karena Allah SWT tidak membebani makhluk melainkan
sesuai dengan kemampuan.
Dalam hadis Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang lain disebutkan:”Kalian harus patuh dan
taat dalam hal-hal yang kalian mampu melaksanakannya (dalam batas kemampuanmu).* (Syekh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’diy, 99 Hadis Utama Bukhari, Muslim, Mutafaq ‘Alaih)
Pekanbaru, April 2014
*Dalam
kitab Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Umar (Pen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar