Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Minggu, April 27, 2014

Tata Cara Taat Kepada Penguasa, Orang Tua Dan Suami


Dalam kehidupan ini, seringkali kita berada pada posisi diperintah. Perintah itu, dapat datang dari penguasa, orang tua maupun suami. Bagi pekerja, terkadang dihadapkan kepada perintah atasan yang bertentangan dengan syariat. Disinilah arti pentingnya kita memahami makna ketaatan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ketegasan sikap dalam ketaatan, perlu kita perlihatkan.
Dari Ali r.a, katanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Tidak ada ketaatan dalam berbuat maksiat, taat itu hanya dalam berbuat kebaikan. (HR. Mutafaq Alaih)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy menjelaskan, hadis ini merupakan batasan atas setiap orang yang harus ditaati, baik terhadap para penguasa, orang tua, suami maupun lainnya, dimana syari’at (Allah SWT dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah menetapkan kewajiban mentaati mereka itu.

Meskipun demikian, masing-masing mereka itu wajib ditaati dalam batas-batas yang sesuai dengan kedudukannya secara patut. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebanyakan perintahnya kepada manusia kembali pada urf  dan adat kebiasaan seperti dalam kebaikan dan silaturrahmi, keadilan dan perbuatan baik  (ihsan) yang umum. Begitu pula menaati orang yang wajib ditaati. Semuanya dibatasi dengan batasan tersebut. Karenanya, apabila sebagian mereka menyuruh berbuat maksiat kepada Allah SWT dengan melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan sesuatu kewajiban, maka janganlah ditaati
Kita tidak boleh taat kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada Allah SWT. Dengan itu, apabila salah seorang mereka menyuruh membunuh orang-orang yang terpelihara darahnya, memukulnya atau mengambil hartanya atau menyuruh meninggalkan haji yang wajib atau ibadah wajib lainnya atau memutus hubungan silaturrahmi dengan orang yang harus dijalin hubungannya, maka jangan diikuti dan jangan taat kepada mereka, melainkan kita harus mendahulukan taat kepada Allah SWT daripada taat kepada mahkluknya.
Dari hadis ini dipahami bahwa apabila taat kepada mereka itu berlawanan dengan perbuatan ibadah sunat, maka taat kepada mereka itu harus didahulukan karena meninggalkan perbuatan yang sunat bukanlah maksiat. Apabila seorang suami melarang istrinya melakukan puasa sunat atau haji yang sunat, atau pemerintah menyuruh melakukan tugas politik, maka yang harus didahulukan adalah melakukan yang wajib (yakni dalam hal ini, menaati perintah suami dan penguasa).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:”Sesungguhnya taat (patuh) itu hanya dalam kebaikan”. Sebagaimana ketaatan itu mencakup hal-hal yang kami sebutkan, ia juga mencakup pembatasan atas kemampuan dan kekuatan, sebagaimana kewajiban-kewajiban lain berdasar hukum asal syariat. Artinya, taat itupun harus sesuai pula dengan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki, karena Allah SWT tidak membebani makhluk melainkan sesuai dengan kemampuan.
Dalam hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain disebutkan:”Kalian harus patuh dan taat dalam hal-hal yang kalian mampu melaksanakannya (dalam batas kemampuanmu).* (Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, 99 Hadis Utama Bukhari, Muslim, Mutafaq ‘Alaih)
Pekanbaru, April 2014
*Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Umar (Pen)

Tidak ada komentar: