Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Kamis, Oktober 09, 2014

Etika Menggauli Istri Dan Haramnya Sodomi



Agama Islam memberikan tuntunan yang sempurna bagi penganutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Termasuk juga tatacara pergaulan suami-istri. Dalam hubungan suami-istri, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan tuntunan. Etika bagi seorang suami ketika menggauli istrinya, antara lain dapat ditemukan didalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 223.
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan, kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman. (QS. Al-Baqarah 223)

Mengenai ayat tersebut, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, memberikan penjelasan sebagai berikut:
Firman Allah :” Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”, baik dengan berhadapan atau membelakangi, namun dalam cara yang satu sebagaimana hal itu ditetapkan dalam beberapa hadits. Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir, dia berkata:” Kaum Yahudi berkata, jika istri digauli dari belakang, maka anak akan lahir miring,’ Maka turunlah ayat,’ Istri-istri mu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu menurut kehendakmu”. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim dan Abu Daud.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Jabir,” Sesungguhnya kaum Yahudi berkata kepada kaum Muslimin,’ Barangsiapa yang menggauli istrinya dari belakang, maka anaknya akan lahir miring.’ Maka Allah menurunkan ayat.’ Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu menurut kehendakmu”. Dalam sebuah hadits, Ibnu Juraij berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:’ (Apakah si istri itu) sambil menghadap maupun membelakangi, asalkan dari farji”. Ada bebetapa hadist lain yang membolehkan praktik jima asal ke satu tujuan, yaitu farji. Ada pula hadits yang melarang menggauli wanita melalui duburnya.
Diriwayatkan dari Umar bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Orang yang menyetubuhi istrinya pada duburnya adalah sodomi kecil.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Thalak, dia berkata,” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menggauli wanita dari duburnya. Sesungguhnya Allah tidak segan untuk menyatakan kebenaran”. Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
Orang yang menyetubuhi istrinya pada duburnya tidak akan diperhatikan Allah. (HR. Ahmad)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:” Adalah dilaknat orang yang menggauli istrinya melalui duburnya”. Setiap hadits yang membolehkan menggauli wanita melalui duburnya adalah tidak sahih. Syaikhuna al-Hafizh Abu Abdillah adz-Dzahabi telah mendalami hadits-hadits itu kemudian menghimpunnya dalam satu jilid, dan semua hadits itu adalah dhaif dan dusta. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Malik, Syafi’i dan ath-Thahawi bahwa menggauli istri seperti itu adalah halal. Namun, semua riwayat dari mereka tidak sahih. An-Nash as-Shabag berkata:” Rabi’ bersumpah dengan nama Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia bahwa sesungguhnya Ibnu Abdul Hikam itu telah berdusta dengan mengatas namakan Syafi’i mengenai kebolehan menggauli wanita dari duburnya, karena Syafi’i telah menetapkan keharamannya dalam enam kitabnya. Wallahu a’lam.
Ibnu Umar juga mengharamkan menggauli istri dari duburnya. Ad-Darimi meriwayatkan dalam musnadnya dari Said bin Yasar Abi al-Habab, dia berkata:” Saya bertanya kepada Ibnu Umar, bagaimana pendapat anda mengenai al-Jawari, apakah dia ber-tamhidh kepada istri-istrinya? Ibnu Umar balik bertanya, apa itu tamhidh? Kemudian dikatakan bahwa tamhidh ialah dubur. Ibnu Umar berkata:” Apakah ada orang Muslim yang melakukannya? Sanad riwayat ini sahih dan sebagai nash yang jelas dari Ibnu Umar yang mengharamkan sodomi. Oleh sebab itu, setiap keterangan dari Ibnu Umar yang membolehkan atau mengandung kemungkinan membolehkan, tertolak oleh nash yang muhkam ini.
Mu’ammar bin Isa meriwayatkan dari Malik bahwa sodomi itu haram. Abu Bakar bin Ziad an-Naisaburi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Israil bin Rawah. Saya bertanya kepada Malik bin Anas:” Bagaimana pendapat Anda mengenai orang yang menggauli dubur istrinya? Dia menjawab:” Kalian bangsa Arab. Tiada ladang kecuali untuk menanam. Janganlah kamu melampaui farfji”. Saya berkata:” Hai Abu Abdullah, sesungguhnya mereka mengatakan bahwa Anda membolehkan sodomi”. Abu Abdillah berkata:” Mereka berdusta dengan mengatas-namakan kami”. Inilah pandangan yang kokoh dan juga merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dan sejawatnya satu golongan. Tabi’in dan kaum salaf lainnya sangat mengingkari sodomi, bahkan ada yang menyebut kafir kepada orang yang melakukannya.
Firman Allah:” Berbuatlah untuk dirimu”, yakni kerjakanlah berbagai bentuk ketaatan disertai meninggalkan semua perbuatan haram yang dilarang-Nya. Oleh karena itu, Dia berfirman:” Serta bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya kamu kelak akan menemui-Nya,” maksudnya Dia akan menghisabmu selaras dengan seluruh amalmu. “ Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman”, yang taat kepada Allah dalam segala perkara yang diperintahkan kepada mereka dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ihwal ayat “dan berbuatlah untuk dirimu”, ucakanlah bismillahi at-tasmiah ketika hendak berjima. Dalam Shahih al-Bukhari dikatakan dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Apabila salah seorang dari kamu hendak mendatangi istrinya, maka ucapkanlah :” Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami”. Jika hubungan itu ditakdirkan mempunyai anak, maka ia tidak akan diganggu oleh setan selamanya.(HR. Bukhari)... (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)
Pekanbaru, Oktober 2014

Tidak ada komentar: