Banyak faedah shalat bagi ruh dan akhlak. Salah satu diantaranya
adalah melatih sikap tawadhu’. Sikap tawadhu’ ini telah dicontohkan oleh para
sahabat. Kita tahu, para sahabat belajar langsung tentang agama ini dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga sikap mereka dalam beragama
dan dalam menjalani kehidupan layak diteladani.
Umar bin Khaththab memberikan contoh bagaimana bersikap
terhadap manusia lainnya walaupun orang tersebut adalah budak. Ketika melakukan
perjalanan ke Syam, Umar yang kala itu menjabat Khalifah, tidak canggung
bergantian menaiki unta.
Faedah shalat melatih sikap tawadhu’ dan kisah Umar bin
Khaththab ini diketengahkan dalam buku “Shalat Penuh Makna, Abdul Karim Muhammad Nashr”.
Shalat melatih seseorang untuk bersikap tawadhu’ dan tidak
sewenang-wenang kepada orang lain. Pada hakekatnya shalat adalah ketawadhu’an
kepada keagungan Allah Subhanahu wata’ala. Puncak ketawadhu’an dan penghinaan
diri ini termanifestasikan ketika rukuk dan sujud.
Dalam ketawadhu’an kepada Allah ini terdapat isyarat tidak
bolehnya bersikap sombong kepada makhluk-Nya. Sebab, sombong adalah salah satu
sifat Allah Subhanahu wata’ala, tidak ada satu makhluk pun yang boleh
merebutnya dari-Nya.
Ibnu Abbas r.a menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:” Kesombongan adalah
selendang-Ku, sedangkan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa merebut salah
satunya dari-Ku, niscaya Aku lemparkan dia kedalam neraka”.
Para sahabat yang merupakan alumni madrasah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah diajari oleh shalat tentang bagaimana mereka
harus bertawadhu’ kepada makhluk Allah. Diriwayatkan ketika Umar bin Khaththab
r.a mengadakan perjalanan ke Syam, ia bergantian menaiki kendaraan dengan
budaknya. Setelah mengendarai unta sejauh satu farsakh sementara budaknya
memegangi tali kekang unta itu, Umar turun dan menyuruh budaknya untuk menaiki
unta. Bergantian, Umar yang memegangi tali kekangnya dan dituntunnya sejauh
satu farsakh. Begitulah mereka berdua melakukannya sampai ketika dekat Syam,
tibalah giliran budak itu yang menaiki unta, sedang Umar yang memegangi tali
kekang unta.
Umar mendapati air dijalan sehingga dia menceburkan diri ke
air sambil memegangi tali kekang unta itu. Kedua sandalnya digantungnya
dipundak kirinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarah yang menjadi gubernur Syam datang
menyambut seraya berkata:” Wahai Amirul Mukminin, para pembesar Syam sedang
berdatangan menyambutmu. Tidak baik kiranya jika mereka melihatmu dalam keadaan
seperti ini”. Umar menjawab:” Hanyasanya Allah memuliakan kita dengan Islam.
Aku tidak peduli dengan omongan orang”.
Diriwayatkan bahwa suatu saat Abu Ubaidah r.a mengimami suatu
kaum. Setelah selesai, dia berkata:” Tadi setan masih melekat padaku, sehingga
aku merasa ada keutamaan padaku diatas orang lain. Aku tidak akan mengimami
selamanya”.( Shalat Penuh Makna, Abdul Karim Muhammad Nashr)
Pekanbaru, Desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar