Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Minggu, Desember 07, 2014

Shalat Melatih Sikap Tawadhu' (Manfaat Shalat)



Banyak faedah shalat bagi ruh dan akhlak. Salah satu diantaranya adalah melatih sikap tawadhu’. Sikap tawadhu’ ini telah dicontohkan oleh para sahabat. Kita tahu, para sahabat belajar langsung tentang agama ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga sikap mereka dalam beragama dan dalam menjalani kehidupan layak diteladani.
Umar bin Khaththab memberikan contoh bagaimana bersikap terhadap manusia lainnya walaupun orang tersebut adalah budak. Ketika melakukan perjalanan ke Syam, Umar yang kala itu menjabat Khalifah, tidak canggung bergantian menaiki unta.
Faedah shalat melatih sikap tawadhu’ dan kisah Umar bin Khaththab ini diketengahkan dalam buku “Shalat Penuh Makna,  Abdul Karim Muhammad Nashr”.

Shalat melatih seseorang untuk bersikap tawadhu’ dan tidak sewenang-wenang kepada orang lain. Pada hakekatnya shalat adalah ketawadhu’an kepada keagungan Allah Subhanahu wata’ala. Puncak ketawadhu’an dan penghinaan diri ini termanifestasikan ketika rukuk dan sujud.
Dalam ketawadhu’an kepada Allah ini terdapat isyarat tidak bolehnya bersikap sombong kepada makhluk-Nya. Sebab, sombong adalah salah satu sifat Allah Subhanahu wata’ala, tidak ada satu makhluk pun yang boleh merebutnya dari-Nya.
Ibnu Abbas r.a menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:” Kesombongan adalah selendang-Ku, sedangkan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa merebut salah satunya dari-Ku, niscaya Aku lemparkan dia kedalam neraka”.
Para sahabat yang merupakan alumni madrasah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam telah diajari oleh shalat tentang bagaimana mereka harus bertawadhu’ kepada makhluk Allah. Diriwayatkan ketika Umar bin Khaththab r.a mengadakan perjalanan ke Syam, ia bergantian menaiki kendaraan dengan budaknya. Setelah mengendarai unta sejauh satu farsakh sementara budaknya memegangi tali kekang unta itu, Umar turun dan menyuruh budaknya untuk menaiki unta. Bergantian, Umar yang memegangi tali kekangnya dan dituntunnya sejauh satu farsakh. Begitulah mereka berdua melakukannya sampai ketika dekat Syam, tibalah giliran budak itu yang menaiki unta, sedang Umar yang memegangi tali kekang unta.
Umar mendapati air dijalan sehingga dia menceburkan diri ke air sambil memegangi tali kekang unta itu. Kedua sandalnya digantungnya dipundak kirinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarah yang menjadi gubernur Syam datang menyambut seraya berkata:” Wahai Amirul Mukminin, para pembesar Syam sedang berdatangan menyambutmu. Tidak baik kiranya jika mereka melihatmu dalam keadaan seperti ini”. Umar menjawab:” Hanyasanya Allah memuliakan kita dengan Islam. Aku tidak peduli dengan omongan orang”.
Diriwayatkan bahwa suatu saat Abu Ubaidah r.a mengimami suatu kaum. Setelah selesai, dia berkata:” Tadi setan masih melekat padaku, sehingga aku merasa ada keutamaan padaku diatas orang lain. Aku tidak akan mengimami selamanya”.( Shalat Penuh Makna, Abdul Karim Muhammad Nashr)
Pekanbaru, Desember 2014.

Tidak ada komentar: