Terkadang, kisah yang berisi keteladanan dapat menjadi pemicu
bagi diri kita. Demikian pula kisah yang berhubungan dengan keridhaan seseorang
dalam menerima takdir Allah. Di dalam buku “Mencintai & Dicintai Allah”
karangan Dr. Majdi Al-Hilali di ceritakan kisah tersebut. Mudah-mudahan kisah
dalam buku terjemahan dari judul asli “Kaifa Nuhibbulloh wa Nasytaqu ilaihi”
ini semakin mendorong kita untuk ridha dengan takdir Allah.
Semua takdir yang ditentukan Allah bagi hamba-hamba-Nya pada
dasarnya membawa kebaikan yang sejati bagi mereka sekalipun yang nampak bukan
seperti itu.
Contohnya adalah rezeki, Allah melapangkan rezeki bagi
sebagian hamba dan menyempitkan sebagian yang lain karena Allah mengetahui apa
yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah telah berfirman:
Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya
tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa
yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan)
hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat. ( Asy-Syura 42: 27)
Allah menahan rezeki-Nya yang melimpah dari sebagian manusia,
tak lain merupakan salah satu benrtuk rahmat dan kasih sayang-Nya kepada
mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allah benar-benar akan menjaga hamba-Nya yang
mukmin dari dunia, padahal Dia mencintainya, sebagaimana orang yang sakit
diantara kalian yang menjaga dirinya dari makanan dan minuman yang
dikhawatirkan (memperparah penyakitnya).( Hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Hakim dari Abu Said. Di shahihkan oleh Al-Albani dalam Shaih Al-Jami’)
Makna yang agung ini tidak mungkin bisa disebutkan dan
dihadirkan dalam sebuah gambaran dan tidak mungkin pula diwujutkan dalam
kehidupan di dunia kecuali jika cinta pada Allah telah bertahta dalam hati dan
dijaga. Maka kuncinya adalah (firman Allah Ta’ala):
...Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha
kepada-Nya...(Al-Bayyinah 98: 8)
...Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.(Al-Maidah
5: 54)
Disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai sekalian orang yang menghadapkan wajahnya kepada-Ku dengan kecintaan-Ku,
tidak ada yang memberikan mudharat kepada kalian dari dunia yang hilang dari
kalian jika kalian (ditakdirkan) beruntung. Dan, tidak ada yang memberikan
mudharat kepada kalian dari musuh-musuh kalian jika kalian (ditakdirkan)
selamat”. (Al-Muhabbah lillah Subhanah karya Imam Al-Junaid/60 Darul Maktabi)
Umar bin Abdu Qais berkata,” Kecintaanku kepada Allah telah
memudahkanku dari setiap musibah dan menjadikanku ridha dengan setiap
ketentuan. Aku tidak peduli dengan apa yang menimpaku di pagi dan di petang
hari ketika aku telah mencintai-Nya. (Istinsyaqu Nasimil Unsi Karya Ibnu Rajab)
Benar wahai saudaraku, jika kita benar-benar mencintai Allah
niscaya kita akan mencintai setiap hal yang dikehendaki Allah Ta’ala atas diri
kita.
Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash tiba di Mekah, beliau dalam
keadaan buta. Orang-orang bergegas menemuinya, agar mereka didoakan. Beliau pun
mendoakan mereka untuk urusan ini dan itu, sebab beliau adalah orang yang
senantiasa dikabulkan doanya. Abdullah bin Abi Saib berkata kepadanya:” Wahai
paman, engkau telah mendoakan orang-orang, jika engkau mau berdoa untuk dirimu
sendiri niscaya Allah akan mengembalikan penglihatanmu”. Beliau tersenyum seraya berkata:” Wahai
anakku, ketentuan Allah Ta’ala terhadapku kurasa lebih baik daripada
penglihatanku”.
Imran bin Hushain pernah menderita busung air hingga ia
terbaring lemah selama tiga puluh tahun, tidak bisa berdiri dan tidak bisa
duduk. Tempat tidurnya dilubangi untuk tempat ia buang hajat. Suatu ketika
Mutharif dan saudaranya ‘Ala’ menemuinya. Keduanya menangis ketika melihat
keadaannya seperti itu. Ia berkata:” Kenapa kalian menangis? Mutharif menjawab:”
Aku menangis karena melihat keadaanmu yang mengenaskan ini”. Ia berkata:”
Jangan menangis! Karena apa yang dicintai Allah adalah apa yang kucintai”.
Pekanbaru, Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar