Al-Qur'an

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Israa' 36)

Rabu, November 15, 2017

Allah Tidak Menjadikan Hidup Abadi Bagi Manusia



“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu. Maka, jika kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiyya 35)
Allah Ta’ala berfirman :”Kami tidak menjadikan hidup abadi” di dunia “bagi seorang manusia pun sebelum kamu”,  hai Muhammad. Ayat ini telah dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk mengatakan bahwa Khaidir a.s telah mati, dan tidak hidup sampai sekarang, sebab dia adalah manusia baik dia sebagai wali, nabi, maupun rasul. Sesungguhnya, Allah telah berfirman,”Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu”.

Allah Ta’ala berfirman :”Maka, jika kamu mati”, hai Muhammad,” apakah mereka akan kekal? Maksudnya, akan diberi tangguh sehingga tetap hidup sepeninggalmu. Hal ini tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi, semuanya akan binasa. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman,”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”.
Firman Allah Ta’ala:” Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu kadang-kadang Kami akan mengujimu dengan berbagai musibah dan kadang-kadang dengan aneka kenikmatan, lalu Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur; siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa (), siapa yang taat dan siapa yang durhaka. Firman Allah Ta’ala :”Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan,” lalu Kami membalasmu sesuai dengan perbuatanmu.
() Catatan: Ini bukan berarti bahwa Allah tidak mengetahui persoalan  sehingga Dia menguji manusia terlebih dahulu. Yang benar ialah Dia mengetahui apa yang akan dilakukan oleh seorang hamba sebelum Dia menciptakannya. Ujian tersebut diadakan guna menegakkan hujjah kepada hamba yang melakukan perbuatan kebaikan atau keburukan. Jadi, sang hamba menyadari bahwa apabila dia melakukan suatu perbuatan, maka dia berhak menerima pahala atau siksa.
(Sumber: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)

Tidak ada komentar: